Tuhan, Boleh Ya, Aku Tidur Nggak Bangun Lagi?

Athar Farha
Chapter #11

Bagian dari Surat Kelima dan Surat Keenam

Gue duduk di kamar dekat jendela. Kursi yang gue duduki biasanya digunakan saat berdandan di depan meja rias yang terletak di seberang tempat tidur. Meja rias itu dilengkapi cermin besar yang menyatu dengan bingkai kayunya, lengkap dengan laci-laci dipenuhi peralatan makeup. Jendela di sebelah gue, membiarkan cahaya matahari masuk, membuat ruangan terasa hangat dan nyaman.

Bisa dibilang ini tempat favorit kala gue lagi ingin merenung. Tempatnya enak banget, saat menatap keluar—di halaman depan—kamar ini di sebelah ruang tamu—ada pohon mangga—sejak pertama menempati rumah ini sudah ada pohon itu. Ketika gue perhatian lekat-lekat, ternyata ada banyak burung pipit bertengger di dahannya sambil berkicau.

Oh, iya. Desir angin pagi terasa sejuk saat terhirup hidung. Rasanya damai banget bisa menikmati suasana pagi sambil minum secangkir kopi dan pisang goreng. Sejenak, penat di dalam diri pun berkurang.

Tumpukan kertas surat dari Damai tersusun rapi di meja rias itu. Gue sengaja kumpulkan semua. Itu bisa jadi barang bukti saat kasus Damai sampai di persidangan nanti, seharusnya.

Kali ini ada dua surat Damai yang tadi gue ambil dari dalam tas yang bergelayut di gagang lemari baju. Kemarin-kemarin memang dia kasih surat yang jumlahnya berlembar-lembar sobekan kertas, tapi isinya masih satu kesatuan kisah hidupnya, jadi gue anggap itu satu bagian utuh dalam surat keempatnya. Nah, yang ini, surat kelima dan keenam terdiri hanya dua lembar kertas.


Dengan khidmat gue membaca surat kelima:

8 Juli 2024

Untuk Kamu

Sengaja nggak menulis apa-apa setelah kisah panjang waktu itu. Bukan karena malas, tapi karena kamunya yang nggak muncul-muncul. Niatnya cuma sehari libur menulis, maksudnya juga ingin diskusi hal-hal yang lain, seperti halnya pekerjaanmu itu, tapi … kamu nggak lagi kesal padaku, kan?

Apakah besok kamu kemari? Aku nggak dapat menerka selain mengharapkan hal demikian. Jadi, ketimbang waktu terbuang mubazir, di tanggal ini kuputuskan menulis info penting. Penting bagiku bukan berarti penting bagimu, sih.

Paham, kan, betapa penyidik merasa kurang menggali lebih dalam kasusku? Padahal, menurutku nggak rumit. Ya, kamu, orang-orang di sini, atau bahkan masyarakat, juga sudah tahu, kan? Aku masih nggak ngerti kenapa harus diperpanjang masa penahanannya, setelah penahanan dua puluh hari. Kamu tahu tepatnya kapan hari pertama penahananku itu.

Sebentar. Gue mencoba mengingat-ingat. Kemarin itu tanggal 11 Juli 2024, saat forum diskusi disiarkan secara langsung. Tanggal 9 Juli 2024 para wartawan menyerbu rumah gue, yang mana gue juga dapat undangan menghadiri forum diskusi. Nah, Gue dapat surat ini pas mengunjunginya di tanggal 10 Juli 2024. Berarti surat Damai yang ini dibuat empat hari lalu karena sekarang tanggal 12 Juli 2024. Jika di tanggal 8 Juli 2024 Damai mengabari penambahan masa tahanan sebelum gelar sidang pertama, berarti penahan pertamanya dimulai di tanggal 18 Juni 2024. Ya, seharusnya begitu. Lantas gue lanjut membaca suratnya:

Ah, apa susahnya menyidangkan kasus yang sudah terang benderang, sih? Aku pun nggak ambil pusing. Boro-boro ada pengacara mendampingi, pikirku biar cepat selesai saja. Nggak peduli juga tentang hukum di negeri ini, mau adil atau nggak, toh selama ini aku nggak pernah mendapatkan keadilan yang sesungguhnya. Keadilan itu justru aku yang membuatnya.

Gue berhenti membaca sejenak. Duh, gue harus cepat-cepat mengabari hal penting ini. Masa Laras sudah masuk forum diskusi, banyak masyarakat sudah tahu perihal advokatnya, si Damai malah belum tahu. Bego banget ya gue? Padahal waktu itu juga kita sempat ngobrol. Mungkin saking girangnya gue sama Damai yang pada akhirnya mau berbicara ke gue, jadi kelupaan membahas penunjukan advokat. Ish, parah!

Lihat selengkapnya