Gue beraktivitas rutin seperti biasa, menghadapi berbagai pasien dengan segala keluhannya. Di lembaga pemerintah, gue sebenarnya agak berat menyandang status sebagai psikiater forensik.
Menjadi psikiater forensik lebih berat dibandingkan psikiater klinis biasa karena harus menghadapi pasien kasus kejahatan serius dan trauma. Tanggung jawab hukum yang gue pegang juga tinggi, analisisnya pun begitu kompleks, termasuk harus sering berinteraksi dengan penegak hukum. Makanya gue lebih suka bilang: Psikiater di lembaga pemerintah alih-alih mengaku sebagai Psikiater Forensik. Saat forum diskusi pun gue cuma ngaku psikiater doang.
Kebayang, kan, betapa seriusnya jabatan yang gue emban? Ya, salah satu tugas gue tentunya mendiagnosa dan menangani gangguan mental dalam sistem peradilan pidana. Terus memberikan saran spesialis kepada pengadilan hingga layanan di penjara.
Memang berat, sih. Namun, gue berusaha menikmatinya. Bisa membantu orang untuk menjaga mentalnya agar tetap aman, itu bisa melatih kesabaran gue yang terkadang bertindak di luar ‘nurul’. Kayak satu ini, tiba-tiba gue ingin mencari tahu Haru. Lah, itu sudah di luar batas kerjaan gue!
Tuh, kan, gue jadi kepikiran Damai lagi, juga semakin penasaran dengan masa lalu dia sebenarnya. Gue harus temui Haru dan mengorek informasi tentang Damai. Pokoknya harus dapat!
***
Sepulang kerja, gue janjian ketemu Laras. Awalnya Laras bertanya, kenapa gue yang sibuk mencari Haru? Seharusnya yang sibuk itu pihak kepolisian, atau justru dirinya, secara Laras itu advokat Damai, yang pastinya membutuhkan banyak informasi.
Gue cuma bilang, “Ya udah, sih. Bukannya senang tak repot sendiri, Ras. Berdua itu lebih seru.”
“Serahlah,” sahutnya. “Alamat Haru sudah tahu belum? Oh, iya, surat kuasanya sudah ada di dalam tote bag aku”
”Gampanglah. Yuk, ke Desa Sarang Manis sekarang!”
***
Gue dan Laras dapat info rumah Haru dari keluarganya Damai. Jadi begini, gue dan Laras 'mau tak mau' ke kediaman Damai terlebih dahulu. Di rumah sederhana itu, ada ibu dan bapaknya Damai. Sementara itu, tak terlihat kakeknya Damai. Setelah gue bertanya-tanya lebih detail, si kakek dan nenek di tahun 2024 ternyata sudah meninggal. Pantas saja di dalam surat, Damai memberi tahu, orangtuanya yang datang saat momen konfrontasi, bukan kakek dan neneknya.
Setelah beberapa saat kami bercengkrama—termasuk memperkenalkan Laras sebagai advokat anak mereka—alamat rumah Haru pun gue dapatkan. Namun, saat gue dan Laras ke sana, Haru tidak ada di rumah. Gue pun bertanya sama salah satu anggota keluarganya. Katanya, Haru pergi ke Sungai Alunan. Gue sama Laras menyusul ke sana. Benar saja, Haru ternyata lagi mandi, dan terlihat sedang menikmati aliran air sungai yang tidak deras dengan bertelanjang dada.
Tanpa basa-basi lagi gue sama Laras langsung mendekat ke arah Haru. Pemuda itu terkejut melihat kedatangan gue sama Laras yang sudah berdiri di tepian sungai.
“Lah, ciwi-ciwi dilarang ke sungai khusus laki,” kata Haru saat terkejut melihat gue dan Laras mendekat.
Gue dan Laras menahan tawa.
“Kalau mau mandi di sebelah sana …,” Haru menunjuk ke arah selatan, dan bicara lagi, “Yang ciwi-ciwi di sana, bukan di sini.” Lantas Haru menepi dan naik ke daratan berbatu besar-besar.
Gue beralih pandang pada Laras. Matanya tampak tak lepas dari Haru yang berkulit putih itu. Laras benar-benar tengah memperhatikan postur tegap dengan otot perut yang terlihat jelas—seperti 'roti sobek’. Dan gue perhatikan lebih lama, Laras tidak berkedip menatap Haru. Kayaknya dia hampir masuk ke mode 'gesrek', jadi gue buru-buru memulai obrolan sama Haru, biar Laras tersadar.
"Hai, nama gue Rain. Ini teman gue Laras. Gue tahu elu dari Damai. Gue psikiater dan Laras ini pengacaranya Damai"
Laras menyahut, "Hai, Haruuu ….”
Awalnya, Haru biasa saja. Namun, ketika nama 'Damai' disebut, wajah Haru jadi pucat.
"Kenapa? Kok elu kayak terkejut gitu?" Gue curiga dengan perubahan sikap Haru. Ketika gue bertanya lagi, dia garuk-garuk kepala. Gue semakin penasaran.
"Emm, anu. Jelas saja aku terkejut. Kalian tiba-tiba datang. Kalian kenal Damai dari mana?"
“Segala nanya. Kurang jelas? Gue psikiaternya. Wajarlah kalau tahu.”