Gue mencoba untuk lebih tenang dengan mengatur napas. Laras pun terdiam, tapi tak bisa dipungkiri, kekesalan terpancar dari raut wajahnya. Meski begitu, gue tetap senang karena pada akhirnya Damai mau ngobrol banyak.
Pada dasarnya gue tak bisa menebak isi hati manusia. Namun, sejauh gue mendalami Damai sampai saat ini, meski masih ada semacam ketakutan dan trauma yang tak bisa disembunyikan, perkembangan mentalnya cenderung positif. Sorot matanya tak setajam saat pertama kali bertemu. Terlepas tadi agak ada naik tensi, minimal Damai sudah menerima Laras jadi pengacaranya.
***
Malamnya, entah mengapa gue tak bisa berhenti mikirin pertemuan gue dengan Haru di Sungai Alunan. Seperti ada sesuatu yang tak beres, gue yakin itu. Kenapa Damai begitu tidak suka saat gue sebut nama Haru? Ada apa sebenarnya antara mereka?
Bahkan waktu gue membahas 'Damai' di depan Haru, gue melihat wajahnya berubah drastis. Seolah nama itu bukan sekadar nama teman lama, tapi sesuatu yang menakutkan. Dia langsung jadi kayak gugup. Apa dia terlibat dalam kematian Ustaz Nur? Tapi, kalau terlibat, pasti Haru tak akan asyik-asyiknya di luar, kan? Pertanyaan itu berkecamuk di kepala gue. Haru kelihatan jelas tidak nyaman, gue ingat betul! Tapi dia tak mau bilang apa-apa. Dan itu justru bikin gue semakin curiga.
Laras juga merasakan hal yang sama. Bahkan, sebelum kami pulang dari rutan, dia bilang bakal mencari tahu lebih lanjut soal Haru.
Saking gelisahnya, gue pun duduk di depan meja rias, sambil memandang peta Desa Sarang Manis di dalam peta online. Gue menandai titik-titik penting, termasuk Sungai Alunan. Netizen mana yang tidak penasaran dengan lokasi itu. Hmmm ….
Kayaknya gue tak bisa membiarkan rasa penasaran ini terus menggantung. Gue harus balik ke Desa Sarang Manis lagi. Laras juga punya rencana buat balik ke sana.
***
Gue dan Laras tiba di Desa Sarang Manis kisaran jam sepuluh pagi, sesuai rencana. Tujuan kami jelas: Menggali lebih dalam tentang kasus Damai. Kasus yang tak hanya melibatkan nyawa seseorang—Ustaz Nur—tapi juga menghancurkan hidup Damai, yang sekarang ditahan atas tuduhan pembunuhan.
Desa ini punya suasana yang khas, dengan rumah-rumah yang tampak tidak berubah selama puluhan tahun, seolah waktu berhenti di sini. Tapi di balik ketenangan itu, gue bisa merasakan, penduduk desa ini sepertinya lebih memihak Ustaz Nur—sosok yang dihormati dan dicintai. Ini jelas bukan tempat yang ramah buat kami, yang datang atas nama Damai, meskipun secara tidak langsung.
"Aku tak suka ini, Rain," Laras bilang pelan sambil kami berjalan melewati beberapa warga yang melihat kami dengan tatapan penuh selidik. "Desa ini … mereka semua, kecuali ortu Damai ya, kayak sudah memutuskan siapa yang salah bahkan sebelum pengadilan dimulai."
Gue cuma mengangguk dan terus melangkah menuju balai desa. Rasanya berguna banget titik-titik lokasi yang gue hafalkan dari peta online semalam. Kami ke sana, berharap bisa ngobrol dengan Kepala Desa. Siapa tahu bisa mendapatkan gambaran lebih jelas soal apa yang sebenarnya terjadi antara Damai dan Ustaz Nur.
***
"Saya sudah bilang pada polisi, Damai memang pembunuh Ustaz Nur," kata Kepala Desa dengan nada tegas. Tidak ada keraguan dalam suaranya. Buat dia, kasus ini seperti sudah selesai.
Darah gue kayak mau mendidih, tapi gue tak mau emosi.
"Kami di sini untuk menyelidiki lebih lanjut," kata Laras dengan tenang. "Masih banyak hal yang belum jelas."
Kepala Desa itu mengangguk. Namun, sudah jelas kalau kami tidak akan mendapat banyak bantuan di sini. Sikap Kepala Desa sama seperti opini para warga—Damai salah, Ustaz Nur benar.