Tuhan, Boleh Ya, Aku Tidur Nggak Bangun Lagi?

Athar Farha
Chapter #14

Bagian Selepas Seminggu

Sudah seminggu berlalu, dan gue harus akui, situasi di tempat kerja gue mulai tenang kembali. Padahal, belum lama ini, tempat ini seperti tidak pernah sepi dari sorotan media. Wartawan dari berbagai media berbondong-bondong datang, selalu ingin bertemu gue. Di satu sisi, gue bukan tipe orang yang suka terekspos, tapi di sisi lain, gue tak bisa mengelak kalau nama gue makin dikenal.

Semua berawal dari pemberitaan yang menayangkan rekaman video gue, termasuk potongan-potongan dari forum diskusi yang diadakan beberapa waktu lalu. Hal itu sampai membuat orangtua gue yang ada di Jakarta menghubungi gue. Mereka, yang selama ini menikmati hidup dengan tenang, tiba-tiba ingin tahu lebih banyak soal apa yang terjadi. Mereka tanya banyak hal—terutama soal kasus Damai dan bagaimana kondisi batin gue setelah semua ini.

Pada intinya, gue meyakinkan mereka, pekerjaan gue—di bawah lembaga pemerintah—itu tak membungkam buat gue bersuara. Apa yang gue ketahui soal Damai dan kasusnya, memang seharusnya disampaikan, terutama dalam rangka membantu pasien yang benar-benar membutuhkan. Dalam kasus ini, Damai yang terlihat pasrah menerima hasil hukuman nanti. Dia mungkin merasa ini akhir dari segalanya, tapi gue tahu, masih banyak yang bisa dilakukan. Makanya, secara naluriah gue pasang badan.

***

Nah, selepas azan Zuhur, gue duduk di ruang tamu dan menyalakan televisi. Di layar, acara berita menampilkan kasus yang gue tahu betul—kasus Damai. Jujur ya, selama beberapa hari terakhir Damai terus menghantui pikiran gue. Fisiknya memang tak sekekar mantan pacar gue, tapi kulit cokelatnya bagi gue itu eksotis. Lah, kenapa malah menjurus ke hal beginian, sih? Ups.

Kendatipun gue belum mengunjungi dia lagi selama seminggu ini, tapi Laras selalu kasih informasi terbaru kok. Ibaratnya kayak gue menitipkan Damai ke dia, secara dia advokatnya, jadi tak ada alasan untuk tidak tahu banyak tentang Damai.

Gue belum menemuinya bukan karena gue tak mau, tapi lagi sibuk menganalisis semua surat yang Damai pernah kirim ke gue. Surat-surat itu—buat orang biasa akan terlihat acak dan biasa saja—bagi gue justru menyimpan petunjuk tentang apa yang benar-benar terjadi di benak Damai.

Begitulah, pekerjaan gue bukan cuma duduk di depan pasien dan mendengarkan cerita mereka. Ada banyak lapisan harus gue bongkar, lapisan-lapisan yang kadang tersembunyi di balik kata-kata yang diucapkan atau dituliskan. Dalam kasus Damai, analisis ini lebih mendalam dari perkiraan gue. Setiap kata yang Damai tulis, setiap gerakan tubuhnya saat bertemu, menyimpan sesuatu yang gue coba pahami. Selama seminggu ini, gue benar-benar sibuk mengumpulkan potongan-potongan puzzle dari surat-surat dan perilaku Damai.

Sekarang gue menaikkan volume televisi karena cukup tertarik dengan pembahasan si presenter berita. Gue memperhatikan bagaimana pria berpakaian rapi itu merangkai narasi berita. Presenter itu menyebutkan, ada organisasi keagamaan yang mengecam perbuatan Damai. Mereka mengeluarkan pernyataan yang cukup keras, menekankan bahwa tindakan Damai bukan hanya melanggar hukum, tapi juga agama. Kamera menyorot wajah laki-laki berkopiah yang tampak geram, di layar namanya: Ustaz Baim. Selain itu tampak perempuan berkerudung hitam, yang memperkenalkan diri, Ustazah Rini. Selain kedua orang itu, masih ada beberapa yang tidak gue pedulikan. Mereka berbicara dalam konferensi pers, mengecam perbuatan Damai dengan kata-kata tajam.

"Kasus ini tidak hanya menjadi masalah hukum," kata presenter itu dengan nada dramatis, "tetapi juga menjadi isu moral dan agama. Banyak orang dalam organisasi keagamaan kini angkat bicara. Mereka menyebutnya sebagai sebuah dosa besar! Guru ngaji, sosok ustaz yang baik hati, malah main dibunuh! Begitulah yang inti pesan yang disampaikan Ustaz Baim dan Ustazah Rini."

Gue menarik napas dalam-dalam. Ini memang bukan berita baru, tapi mendengarnya langsung dari media massa, dan dengan sorotan publik sebesar ini, membuat segalanya terasa lebih berat. Bisa dibilang, Damai tidak hanya berurusan dengan hukum, tapi juga dengan opini publik yang terus bergulir. Ini jelas sekali, di mata banyak orang, Damai sudah dihukum bahkan sebelum pengadilan memutuskan.

Selang sekian detik kemudian, presenter itu melanjutkan laporannya, yang kali ini menampilkan potongan diskusi sesi Bedah Kasus. Dari video yang ditampilkan, tampak tiga orang tengah mendiskusikan kemungkinan motif di balik perbuatan Damai. Di layar tertera nama-nama: Ibu Yoga si Aktivis Hak Asasi Manusia, lalu Pak Eza Zain, si Psikolog Forensik yang sudah gue lihat di forum diskusi, lalu ada Psikolog Ridwan. Astaga, bisa-bisanya dia juga ikutan nimbrung di kasus ini, sih? Gue kira dia tak begitu tertarik. Komunikasi gue dengan Bang Ridwan, kan, saat meminta bantuannya mengambil buku dan pena saat di lapas. Ya, gue ingat betul saat itu.

Mereka tengah mencoba mencari penjelasan rasional untuk sesuatu yang—dalam pandangan mereka—tampak masih gelap. Gue mendengarkan analisis mereka, tapi sebagian dari diri gue merasa bahwa mereka hanya menggaruk permukaan doang. Mereka tidak mengetahui apa yang gue tahu—tentang surat-surat Damai, tentang apa yang Damai tunjukkan selama ini dalam sesi-sesi pertemuan kami. Besok-besok kalau papasan lagi dengan Bang Ridwan, gue bakal jikat dia!

Sambil terus menonton, gue tidak bisa berhenti berpikir. Gue sudah melihat berbagai macam kasus, dari yang paling sederhana sampai paling rumit. Namun, Damai berbeda. Ada sesuatu di dalam dirinya yang lagi gue pahami.

Merasa bosan dengan pembahasan para pakar, gue ganti ke saluran berita lain. Gue agak terkejut melihat foto gue ditayangkan lengkap dengan nama, sementara si presenter perempuan bersuara serak itu tengah menyampaikannya beberapa hal. Asli, benar-benar tak menyangka mereka mendapatkan foto gue yang itu. Ish!

Serius, deh. Ada perasaan aneh saat melihat diri gue sendiri di layar televisi. Gue terlihat tomboy seperti biasa. Rambut pendek rapi, potongan pixie sederhana, tapi jelas bukan model yang sering dipilih banyak perempuan di dunia psikiatri. Gue mengenakan celana panjang hitam dengan sneakers yang juga kelihatan jelas. Untuk bagian atas, gue pakai kemeja putih agak longgar, dengan lengan digulung sampai siku, diselingi jaket kulit hitam. Gue tahu, penampilan gue tidak sepenuhnya mencerminkan citra "psikiater pada umumnya". Lagian, siapa, sih, yang menilai seseorang dari penampilan?

***

Gue kira ketenangan ini akan bertahan lama, ternyata cuma sejengkal doang. Terdengar suara-suara dari balik pintu. Tanpa membuka pintu pun sudah jelas siapa yang berdatangan. Gue lantas mematikan televisi, lagi mengintip dari balik tirai jendela. Gue menghitung, ternyata jumlah mereka lebih banyak dari sebelumnya.

"Selamat siang, Mba Raiiiin." Suara laki-laki yang memanggil, malas gue tanggapi.

"Assalamualaikum, Kaaak." Entah suaranya siapa, tapi gue jadi merasa lebih muda.

Lihat selengkapnya