Setelah cukup lama agak canggung, gue dan Damai kembali berbincang. Namun, sepersekian menit kemudian, gue menyandarkan punggung ke sandaran kursi kayu yang keras, dan suara gesekan pelan terdengar. Jari-jari gue dengan refleks mengetuk-ngetuk meja ketika pikiran gue kembali ke martabak manis yang masih terbungkus di depannya.
Hmmm, mata Damai tampak berkeliaran dari botol minuman bersoda dan martabak. Bibirnya bergerak pelan, lalu mengernyit kayak lagi mikir keras, tapi yang keluar cuma anggukan kecil.
Tadi dia bilang ‘suka’ saat menyentuh punggung telapak tangan gue pas mau membereskan martabak dan botol minuman ke kantong kresek, kan? Namun, kenapa selepas sekian menit berbincang cuma dilihat-lihat doang?
Gue pun menunduk karena ‘bete’, lalu memainkan ujung lengan baju, mencoba menenangkan suasana hati. Ini agak bego, sih.
Akan tetapi, sesekali gue melirik Damai. Perlahan, tangan dia terulur dan menarik martabak. Tanpa bersuara, dia membuka pembungkus dan menyuap sedikit ke mulutnya. Gue menghela napas pelan dan tersenyum kecil.
"Enak, kan?" akhirnya gue bertanya begitu.
Damai tidak menjawab, tapi mengangguk-angguk.
Tangan Damai tiba-tiba terulur pelan ke arah gue. Di antara jari-jarinya ada sepotong martabak yang baru saja dia ambil. Gue tertegun sejenak, tak yakin sama apa yang dia lakukan. Tatapan gue otomatis berpindah dari wajahnya ke martabak yang dia tawarkan.
Damai tidak bilang apa-apa, tapi dari tatapannya jelas ingin gue menerima itu. Dengan meja memisahkan kami, gue refleks membungkukkan badan, sedikit mendekat ke arahnya secara perlahan-lahan. Jantung gue berdebar agak lebih cepat, dan tanpa sadar wajah gue rasanya memanas. Gue lantas membuka mulut dengan perasaan agak malu sekaligus senang, dan membiarkan dia menyuapkan martabak itu ke mulut gue. Rasanya manis. Ugh!
Begitu selesai makan martabak, gue duduk tegak lagi, berusaha tenang meskipun detak jantung gue masih berantakan. Mata gue berusaha menghindari tatapan Damai, tapi tidak bisa lama-lama. Tiba-tiba, Damai merogoh sesuatu dari saku celananya.
Dia lantas mengeluarkan kertas yang dilipat-lipat itu, dan meletakkan di atas meja—tidak jauh dari gue. Lipatannya rapi, tapi ada sedikit kerutan di ujungnya. Damai mendorong pelan ke arah gue seraya berkata, "Rain, ini surat lagi buat kamu baca. Bikin sehari setelah menandatangani surat kuasa, tapi kamunya nggak ke sini-sini.”
Tangan gue agak gemetar saat mengambilnya. "Berarti surat ini elu tulis pas tanggal 14 Juli? Soalnya tanda tangan kuasa itu pas tanggal 13. Di tanggal 14-nya gue lagi ada urusan sama Laras. Jangan tanya urusan apa ya! Tapi buset, dah. Ini sudah tanggal 24 Juli, Dam. Ada surat lainnya? Sini biar gue baca sekalian.”
Damai menggeleng.