Tuhan, Boleh Ya, Aku Tidur Nggak Bangun Lagi?

Athar Farha
Chapter #16

Bagian Sebuah Kesaksian Penting

Setelah selesai membaca surat ketujuh, perasaan gue jadi kacau. Isinya menguak fakta yang selama ini tidak pernah terpikirkan sampai ke titik itu—kedekatan Ustaz Nur dan Damai. Kata demi kata di surat itu seperti memukul gue pelan-pelan dan menyisakan kegelisahan yang sulit gue abaikan. Ada sesuatu yang tak beres! Ini jelas banget kok! Saking gelisahnya, pikiran gue sampai melayang ke Damai, membayangkan bagaimana dia terperangkap dalam situasi semacam itu. Risih juga ngeri!

Perasaan gelisah tak kunjung reda, bahkan setelah surat itu gue lipat dan simpan di laci meja rias. Ada sesuatu yang membakar pelan di dalam dada gue, kekhawatiran dan kepedulian yang sulit dijelaskan.

Jujur saja, setiap kali menerima surat dan membacanya, rasanya itu seperti terjebak dalam serpihan puzzle yang menyingkap sisi lain Ustaz Nur. Sosok yang sejak pertama kali gue membaca suratnya, digambarkan sebagai orang bijaksana, tapi ternyata ada lapisan gelap. Tentunya gue belum bisa banyak berspekulasi karena masih ada kisah-kisah lain yang masih Damai tahan.

***

Hari berikutnya gue sengaja menjauh dari Damai. Bukan karena gue tak peduli, tapi lebih karena gue butuh waktu untuk mencerna semuanya. Apalagi, jadwal praktik gue lagi penuh-penuhnya. Tapi, jujur, ada alasan lain yang bikin gue menunda bertemu Damai—gue butuh waktu untuk mencerna dan mengumpulkan energi positif, buat bisa berbincang tanpa dipengaruhi emosi setelah tahu apa yang terjadi.

Momen menyebalkan hari ini pun datang dari tingkah para wartawan, yang seakan-akan bangunan klinik tempat praktik tak lagi jadi tempat aman buat sembunyi. Satu per satu, mereka melempar pertanyaan yang semakin membuat kepala gue berat. Pertanyaan-pertanyaan monoton dan tatapan-tatapan penasaran yang tak pernah berhenti menghakimi, membuat gue bosan dengan keberadaan mereka. Rasanya gue butuh jeda! Bukan cuma dari mereka, tapi juga dari semua drama hari ini.

***

Siangnya, cahaya matahari dengan lembut menembus jendela kafe favorit gue. Udara di dalam kafe jadi hangat, dan aroma kopi yang kuat tercium—menguar dari mesin espresso. Sementara itu, pelayan kafe hilir-mudik, membawa pesanan ke meja-meja yang hampir semuanya terisi. Begitulah yang gue lihat dan rasakan di sini.

Gue menghela napas panjang sampai-sampai aroma cappuccino terhirup. Ya, secangkir cappuccino dengan busa susu ‘yang creamy’ menempel di tepi cangkir ada di hadapan gue tapi sudah tak sepanas beberapa menit lalu, sementara kukis di piring kecil di depan gue hanya tersisa satu. Hmmm … waktu terasa berjalan lambat, dan rasa bosan mulai merambat. Kayaknya sudah setengah jam duduk di sini, menunggu Laras yang belum juga muncul.

“Ya ampun, Laras... elu bisa lebih lama lagi? Ngajakin ketemuan malah bikin orang nunggu lama.” Gue menggumam sambil menyandarkan punggung di kursi, tatapan gue terpaku pada pintu kafe yang masih sepi dari bayang Laras. Ugh!

Sekilas gue memperhatikan sekitar, ketimbang bengong. Di dalam kafe dipenuhi meja kayu rustic dengan kursi berlapis kain lembut—seperti yang lagi gue duduki. Cahaya lampu kuning temaram di atas langit-langit tampak beradu dengan cahaya matahari yang masuk, seakan-akan menciptakan atmosfer intim.

Di sudut ruangan, ada rak-rak buku yang penuh dengan novel, majalah, dan koleksi komik, sementara di sebelah jendela besar yang menghadap jalan, terlihat beberapa pelanggan asyik dengan laptop atau sekadar menatap situasi di luar kafe. Dan dari dapur terbuka di belakang bar, terdengar suara pelan mesin espresso yang sesekali diselingi gemerincing sendok dan gelas.

Setelah menyesap cappuccino lagi, akhirnya pintu kafe terbuka dengan bunyi dentingan kecil. Laras muncul dengan senyum lebar di wajahnya, matanya berkilat, dan langkahnya ringan seperti tak ada beban sama sekali. Gue hanya bisa menghela napas kasar, menahan diri buat tak ngomel.

"Hai, Rain," sapa Laras ceria sambil menarik kursi di hadapan gue. Mukanya polos banget, tanpa rasa bersalah.

"Gila, elu lama banget, Ras. Hampir lumutan gue nungguin elu." Gue mendengus, menahan diri buat tak melempar kukis terakhir ke arah mukanya.

"Hehe, sorry, macet tadi," jawab Laras, masih dengan cengiran di wajahnya. Dia merapikan rambut panjangnya yang kemerahan dan sedikit acak-acakan itu, sambil memesan kopi ke pelayan yang baru menghampiri.

Lihat selengkapnya