Gue diundang dalam acara berita yang disiarkan secara langsung, di stasiun televisi nasional untuk membahas kasus Damai. Laras tidak ikut karena tak mendapat undangan itu. Sesampainya di studio, gue baru ‘ngeh’ rupanya ini perbincangan empat mata antara presenter dan narasumber. Seperti biasa, akomodasi ditanggung penyelenggara.
Hitungan mundur Live News tampak dari layar di depan gue, yang berjarak kira-kira tiga meter. Saat ini, di studio penuh cahaya, gue duduk di sebelah pembawa acara—tadi kami sudah saling memperkenalkan diri.
Jujur ya, tadi, saat lampu sorot begitu terang menerpa wajah gue, bikin mata agak menyipit. Mas Agus Prayoga, si pembawa berita yang kemarin-kemarin gue tonton pas siang hari itu, saat ini duduk dan lagi merapikan setelan blazer yang dia kenakan. Di hadapannya, ada kertas catatan tergeletak di atas meja kaca berbentuk oval. Dia sesekali melirik kamera, terus membetulkan posisi mic di dadanya. Dari tempat gue duduk, tangan mulai terasa dingin, tegang, dan gue menutupinya dengan senyum kecil.
Gue tarik napas dalam-dalam, menahan rasa gugup sebelum acara benar-benar dimulai. Kaki gue agak gemetar.
"Siap-siap," seru kru melontarkan tanda aba-aba dari belakang kamera yang dipegangnya.
Gue lantas duduk tegak.
“Tiga … dua … satu … mulai!”
Mas Agus lantas berbicara dengan suara mantap. "Selamat malam, pemirsa. Jumpa lagi bersama saya, Agus Prayoga, dalam acara 'Bincang Santai.' Malam ini kita akan membahas kasus yang lagi viral, yaitu pembunuhan Ustaz Nur, di mana pelaku utamanya diduga Damai Sentosa." Cara bicaranya tegas, penuh wibawa.
Gue jadi merasa kecil di sampingnya.
Dia beralih ke arah gue, senyum ramah tapi dengan tatapan serius. "Di studio sudah hadir narasumber kita, Mba Rain, seorang psikiater forensik yang saat ini menangani kasus Damai. Selamat malam, Mba Rain."
"Selamat malam, Mas Agus," jawab gue, suara gue pelan dan santai. Mata gue sempat melirik ke kamera sebelum balik fokus ke Mas Agus. “Semoga obrolannya memang santai.” Lantas tersenyum tipis. Senyum ini sebenarnya sebagai bentuk kurang nyaman disebut ‘psikiater forensik’. Seharusnya tak perlu sedetail itu.
Tanpa basa-basi, Mas Agus langsung melanjutkan, suaranya lebih dalam. "Kasus pembunuhan Ustaz Nur ini benar-benar bikin heboh. Spekulasi banyak sekali di media sosial. Lalu, bagaimana perkembangan terakhir dari kasus ini? Mari kita berandai-andai, apa ada kemungkinan Damai bakal divonis bersalah atau mungkin bisa bebas?"
Pertanyaannya lumayan tajam, dan bikin suasana hati gue jadi tegang. Gue tarik napas dan menyiapkan jawaban yang jelas, lalu seformal mungkin menjawab, "Sampai saat ini, penyelidikan masih berjalan. Walaupun ada bukti dan pengakuan yang mengarah ke Damai, tapi sebentar ya … begini, belum ada konfirmasi yang kuat. Anda harus tahu, sebatas ‘ngaku’ dan adanya ‘alat bukti’, hal-hal itu masih bisa dimanipulasi. Kita harus ingat, di kasus kayak gini, pembuktian tidak hanya bergantung pada motif atau opini publik, tapi juga kondisi psikologis terdakwa."
Gue berhenti sebentar, memastikan kalimat gue bisa dicerna. "Sebagai orang yang mencoba mendalami segala situasi batin dan mentalnya, tugas saya pada akhirnya adalah mengecek apakah Damai secara mental bisa paham tindakan yang diakui atau tidak. Evaluasi yang saya lakukan sekarang masih berjalan. Anda juga perlu tahu, tidak jarang di kasus kayak gini, tersangka punya gangguan kejiwaan yang bisa memengaruhi tindakannya."
Mas Agus tampak seperti kurang puas. Sorot matanya jadi lebih serius. "Tapi, Mba Rain, ini soal pembunuhan. Damai sudah mengakui. Alat buktinya ada. Sekarang saya minta pendapat Anda sebagai orang yang paham dengan kejiwaan. Kalau memang ada gangguan mental, apa publik bisa terima hasil evaluasi, yang mengindikasikan Damai tak layak diadili? Bukankah banyak yang menilai Damai harus tetap bertanggung jawab atas perbuatannya?"
Gue tarik napas lagi, sadar ini pertanyaan sensitif. "Benar, Mas Agus. Tapi hukum itu tak cuma mengadili berdasarkan perbuatan fisik, tapi juga niat dan kondisi mental seseorang. Kalau seseorang punya gangguan mental yang parah, dia mungkin tidak bisa sepenuhnya mengerti konsekuensi dari tindakannya. Itulah kenapa penting banget kita tidak buru-buru ngasih penilaian. Proses hukum harus adil, tidak cuma buat korban, tapi juga buat terdakwa."
Mas Agus mengangguk pelan, tapi kelihatan dia masih mau menggali lebih dalam. "Apa yang sudah ditemukan dari evaluasi Damai sejauh ini? Apakah ada indikasi gangguan mental yang bisa jadi dasar pembelaan?"
"Ada indikasi kalau Damai mungkin mengalami trauma berat di masa lalu, yang bisa memengaruhi cara dia menghadapi situasi. Tapi, ini masih dalam tahap evaluasi. Saya butuh waktu buat tahu lebih banyak, sebelum bisa menyimpulkan apakah trauma itu berkaitan langsung dengan kasus ini."
Ruangan jadi sunyi sesaat sebelum Mas Agus berkata lagi, kali ini nadanya lebih reflektif. "Jadi, pemirsa, meskipun publik sudah punya banyak opini, kita harus tetap menunggu hasil penyelidikan yang lebih lengkap sebelum mengambil kesimpulan, termasuk dari evaluasi Mba Rain. Kasus ini lebih kompleks dari kelihatannya ya? Kita semua berharap keadilan benar-benar ditegakkan, baik untuk korban maupun terdakwa. Bincang-bincang akan kembali lagi."
Jeda iklan. Gue akhirnya bisa menarik napas lega. Meski obrolan ini belum selesai, setidaknya poin-poin penting sudah tersampaikan dengan jelas.
***
Acara kembali dimulai. Mas Agus kembali membuka dengan kata-kata yang tampaknya sudah sangat dia hafal.
Tanpa basa-basi, Mas Agus langsung melontarkan pertanyaan, "Omong-omong soal pengakuan. Biasanya, jika si tertuduh sudah mengakui perbuatannya, proses hukum akan berjalan sebagaimana mestinya. Saya penasaran, apakah Anda meragukan pengakuan Damai? Suaranya terdengar kritis, tapi tetap terjaga netralitasnya.
"Pengakuan memang ada, sudah jelas kok, Damai Sentosa mengakui membunuh Ustaz Nur. Namun, pengakuan seseorang yang sedang dalam kondisi mental tidak stabil perlu dievaluasi lebih lanjut. Sebagai psikiater forensik, membuat saya harus berhati-hati dalam menyimpulkan segalanya. Khususnya terkait apa yang melatarbelakangi perbuatannya. Okelah, saya meyakini dia ada trauma, bahkan trauma berat, tapi yang melatarbelakanginya, yang membuatnya trauma, masih saya gali lebih dalam lagi."
Mas Agus mengernyit, matanya tajam. "Trauma? Anda meyakini, bahwa trauma seseorang bisa membenarkan tindakan keji seperti pembunuhan?"