Di kafe tempat biasa bersantai, gue kembali ketemuan sama Laras dan menceritakan semua yang gue bicarakan dengan Damai saat di rutan. Kami duduk bersebelahan membicarakan banyak hal, tapi tidak banyak bercerita terkait 'Bincang Santai' itu karena Laras sudah menonton. Katanya, seandainya Laras yang diundang, dia bakal lebih agresif menanggapi pertanyaan dari si presenter. Dibilang santai, tapi kok bikin tegang urat saraf.
Laras kemudian mengajak gue kembali ke Desa Sarang Manis untuk menemui orangtua Damai. Dia ingin mengorek lebih banyak hubungan Damai dengan kedua orangtuanya.
“Lagi tak sibuk banget, kan, Rain?”
“Sibuknya gue saat ini cuma tentang Damai, kan?”
Laras terkekeh. “Oh, iya, Rain. Soal buku catatan milik Ustaz Nur sudah kuceritakan sama ibu dan bapaknya Damai.”
“Apa respons mereka, Ras?”
“Yang jelas kaget. Cuman, aku minta ke mereka untuk diam dulu. Intinya jangan banyak omong di depan media atau warga di sana. Cukup semua diungkap di pengadilan.”
“Terus kenapa gue harus ke sana juga sama elu hari ini?”
“Buat temanku dong. Gimana ya? Pokoknya, supaya bisa berbicara dari hati ke hati. Mereka sebenarnya juga penasaran soal Damai, dan segala hal yang kamu kemukakan di siaran berita itu.”
“Nama ortunya Damai siapa? Gue lupa atau belum tahu ya?”
“Dih, kamu terlalu fokus sama Damai jadinya begitu,” ledeknya. “Namanya Ibu Melati dan Bapak Arif. Yuk, Rain!” Laras lantas menarik lengan gue.
***
Sesampainya di rumah Damai, kami mengobrol santai dengan Ibu Melati, sedangkan Bapak Arif, tak ada di rumah karena, kata Ibu Melati, Bapak Arif lagi kerja. Sahabat suaminya menawari kerjaan, supaya mendapat penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga selagi bergulat dengan proses hukum yang menimpa Damai.
Setelah cukup lama, gue lantas bercerita lebih dalam, bagaimana kehidupan Damai ketika berpisah dengan kedua orangtuanya. Ibu Melati merasa sangat bersalah karena tidak selalu hadir di kehidupan anaknya.
Air matanya tak terbendung. Beliau bahkan sampai mengutarakan isi hati terdalam: Seandainya waktu dapat diputar ke belakang, ingin rasanya melihat Damai tumbuh dan berkembang. Mendapatkan kasih sayang layaknya anak-anak seusianya. Namun, karena situasi dan kondisi, membuat mereka harus menitipkan Damai di rumah orangtua Bapak Arif, sampai akhirnya, mertua Ibu Melati pun meninggal, sosok yang selalu Damai panggil ‘Kakek dan Nenek’. Setelah itu, barulah mereka menata ulang hidup di Desa Sarang Manis.
Namun, kasus pembunuhan ini, pada akhirnya membuka kenyataan. Damai tidak benar-benar bahagia, justru hidup penuh tekanan. Ibu Melati dan Bapak Arif percaya, tekanan paling besar itu datangnya dari luar, bukan dari Kakek dan Nenek yang selama ini merawat Damai. Ya, gue pun meyakini itu selama membaca surat-surat Damai.
“Rasanya jauh lebih menyakitkan daripada yang bisa saya bayangkan,” ungkap Ibu Melati.
Gue bisa merasakan kesedihan yang mendalam dari suaranya. Laras, yang duduk di samping gue, tampak terhanyut dalam ceritanya.