Gue kembali menemui Damai. Kira-kira, ada cerita apa lagi? Setibanya di rutan, Damai muncul di hadapan gue sambil membawa buku, raut wajahnya tampan ceria. Kami pun mengobrol banyak hal. Dia juga cerita terkait orangtuanya yang menjenguk saat gue tak mengunjunginya.
"Rain, ini ada surat lagi untuk kamu," katanya di tengah obrolan, sambil menyodorkan buku.
Gue menatap Damai sekilas, mencoba menangkap perasaannya di balik senyum yang mulai merekah. Gue mengambil buku itu, dan merasakan dingin kertas di antara jari-jemari gue, dan langsung memasukkan ke tas. Rasanya, ada sesuatu yang istimewa di dalamnya.
“Berapa lembar nulisnya, Dam?” tanya gue, penasaran dengan isi yang mungkin penuh cerita. “Tumben banget bukunya sekalian dikasih ke gue.”
“Entahlah,” jawabnya dengan nada santai, meski mata yang menatap tenang itu menyiratkan ada banyak sesuatu ingin dia sampaikan.
“Kayak banyak gini, Dam,” gue melanjutkan, mengerutkan dahi. “Tumben langsung ngasih sekalian bukunya gitu.”
“Sekalian saja,” jawabnya, suara itu terkesan tegas meski ada keraguan di baliknya. “Tuntas, Rain. Lagian persidangan yang sudah ditentukan tanggalnya akan digelar sebentar lagi. Aku nggak apa-apa. Jangan terlalu berambisi kalau sudah tahu ya, Rain. Ngalir saja. Toh, aku sudah baik-baik saja. Nggak masalah mau dipenjara berapa lama.”
Gue terkejut, mendapati betapa banyaknya hal yang ingin dibagikan Damai. “Nanti sampai rumah gue baca. Sekarang, gue pulang dulu. Elu jangan khawatir, Dam.” Gue berusaha menenangkan sambil menyentuh punggung telapak tangannya. Sentuhan itu seharusnya terasa hangat.
Damai mengangguk, tapi senyumnya menghilang, meninggalkan wajahnya yang tampak sedikit murung.