Untuk Kamu
(Rain, ini nggak ada tanggalnya ya. Soalnya panjang. Berhubung ada berbagai aktivitas di rutan, jadi nggak sehari dua hari selesai menulis ini.)
Aku mulai ya, Rain.
Kamu sudah tahu aku mengagumi Ustaz Nur, kan? Kendatipun bersamaan dengan itu, timbul perasaan aneh yang mendobrak nalarku. Sayangnya, itu terjadi saat masih kecil. Paham, kan, betapa campur aduknya perasaanku di waktu itu? Mana paham soal hal-hal dewasa.
Setiap kali Ustaz Nur berdiri di mimbar, suara lembutnya—tanpa aku bertanya pada orang-orang—dari yang kulihat, bak mampu menyentuh hati banyak orang, termasuk aku. Keberadaannya dalam lingkungan desa, bukan hanya sebagai guru ngaji, tetapi juga sebagai panutan yang menjadikan banyak orang merasa lebih baik.
Sekarang, kisahnya akan lebih fokus ke masa-masa toxic yang Ustaz Nur perbuat. Aku nggak akan mengisahkan kedekatan kami lagi, kurasa cukup sampai di situ.
Bersamaan dengan perasaan ‘salah’ yang mendobrak nalarku, lambat laun, perlakuannya mulai berubah. Ustaz Nur mulai menuntut lebih banyak dariku. Dia mengharapkan kepatuhan tanpa mempertimbangkan batasan-batasan yang seharusnya ada. Dalam setiap pertemuan, dia pasti bilang: Aku harus menghormati dan mematuhi setiap ajarannya.
Di balik kata-kata manis dan nasihat yang menyentuh hatiku, ada pengaruh buruk meresap dalam pikiranku. Ustaz Nur jadi nggak hanya berperan sebagai guru, tetapi juga sebagai pengendali emosiku. Dia sering bilang, hanya dengan mengikuti petunjuknya, aku bisa mendapatkan kebahagiaan dan keberkahan. Tanpa sadar, aku mulai mengandalkan pendapatnya dalam setiap aspek kehidupan. Akhirnya, timbul rasa ketergantungan.
Suatu hari, saat sedang berbincang, Ustaz Nur mengungkapkan ketidakpuasannya. “Kamu seharusnya lebih mendengarkan apa yang saya ajarkan,” katanya dengan nada lembut. Namun, ada tekanan tersirat di dalamnya. Aku merasa seperti anak kecil yang nggak pernah bisa memuaskan harapan orangtua. Kata-katanya terus terngiang dalam pikiran, membuatku merasa bersalah dan nggak berharga.
Tapi yang paling menyakitkan adalah saat aku mulai meragukan diri sendiri. Setiap kali aku ingin mengambil keputusan, bayangan Ustaz Nur akan muncul dan mengingatkanku, ‘semua pilihan yang nggak sejalan dengan ajarannya adalah kesalahan’. Ya, Ustaz Nur sering mengaitkan segala sesuatunya dengan surga dan neraka, membuatku terjebak dalam lingkaran ketakutan.
Satu momen menjadi titik balik yang menyadarkanku dari manipulasinya. Saat itu, aku menghadiri acara di masjid, di mana banyak orang berkumpul. Di tengah keramaian, Ustaz Nur mulai berbicara, dan pandangannya langsung tertuju padaku. Dia mengaitkan sebuah cerita yang sangat pribadi dan menyebut namaku sebagai contoh. Aku merasa seluruh perhatian orang terarah padaku. Seakan-akan, aku adalah pusat perhatian, tetapi nggak dalam hal positif. Ada rasa malu dan pengkhianatan menyelimuti diriku. Bagaimana mungkin seorang guru mengungkit kisah pribadi muridnya sebagai contoh di depan orang banyak?
Aku kesal. Kamu mau tahu kisah pribadi apa? Itu soal mulutku yang bau karena jarang sikat gigi. Malu banget!
Setelah acara itu, aku pulang ke rumah dan merasakan amarah serta kebingungan luar biasa. Dia bukan lagi sosok bijak yang menginspirasiku.
Aku mulai menjauh dari pertemuan-pertemuan yang diadakan Ustaz Nur. Perlahan, aku melupakan kejadian bikin malu itu. Teman-temanku; Alam Haru, Ramdan, Senot, Ismail, Barzah, dan Bambang, mereka selalu ada untukku. Mereka sampai sering bolos ngaji, bukan tanpa sebab, itu karena aku yang masih ngambek dan nggak mau berangkat ngaji, sampai-sampai mereka ikut-ikutan. Pokoknya, saat itu, kami jadi sering dimarahi Kakek. Namun, karena bersama-sama melaluinya, aku jadi merasa, amarahnya cuma angin lalu. Hehehe ….
Beberapa minggu kemudian, aku melihat Ustaz Nur di masjid. Rasa campur aduk muncul dalam diriku. Sekilas, aku ingin menghindar, tetapi di sisi lain, aku merasa perlu menghadapinya. Dengan penuh keberanian, aku menghampirinya dan memberitahu bagaimana aku merasa kesal dan dimanipulasi.