Tuhan, Boleh Ya, Aku Tidur Nggak Bangun Lagi?

Athar Farha
Chapter #21

Masih Surat Kedelapan: Kini Tentang Ikatan Damai

Demi Tuhan, Gue syok! Damai ternyata korban pelecehan dari sosok ustaz pedofil. Gue marah sekaligus sedih. Tuhan, kenapa seperti ini faktanya? Argh!

Gue nggak kuat lanjut baca. Ketika halaman-halaman buku itu terus berputar dalam pikiranku, fakta tentang Damai yang dilecehkan benar-benar jadi tamparan keras buat gue. Marah, bingung, dan sedih bercampur aduk.

Damai, dulu saat masih kecil, yang seharusnya dipenuhi kasih sayang dan perlindungan, justru menjadi korban dari orang yang seharusnya melindungi. Rasanya seperti ada yang mengoyak-ngoyak hati ini. Gue lantas menutup buku dengan tangan bergetar dan terisak. Air mata gue pun mengalir.

Setelah beberapa saat terdiam, gue memutuskan pulang ke rumah. Di sepanjang jalan, pikiran gue melayang-layang, tak bisa lepas dari kisah yang baru saja dibaca. Setiap langkah terasa berat, seolah ada beban yang tak tertanggungkan. Di dalam benak, gambar Damai dilecehkan terus berulang.

Sesampainya di rumah, gue mencoba beraktivitas seperti biasa. Namun, semua terasa hampa. Makan, menonton TV, bahkan berbalas pesan dengan Laras tak bisa mengalihkan perhatian dari apa yang gue temukan. Sampai detik ini Laras belum tahu.

Rasa gelisah menyergap gue. Setiap suara, setiap detak jam di dinding, hanya mengingatkan gue pada pelecahan itu. Gue berusaha tidur, tetapi mata tetap terjaga. Kegelapan malam tidak membawa ketenangan.

Akhirnya, di tengah malam, gue tak bisa menahan diri lagi. Dengan langkah pelan, gue mengambil buku di dalam tas yang tergeletak di atas meja rias, lalu duduk belunjur di atas tempat tidur. Rasanya seperti kembali ke tempat yang sulit, tapi gue tahu, gue harus melanjutkan membaca.

Setiap lembar yang gue buka, terasa berat dan menyakitkan. Namun, ada keinginan menggebu di dalam diri ini: Gue ingin memahami lebih dalam tentang Damai, ingin tahu bagaimana dia berjuang melawan rasa sakit itu. Gue lantas membacanya:

***

Sesampainya di rumah, aku terpuruk dalam rasa malu dan ketakutan. Kakek dan Nenek bertanya-tanya, tapi aku bungkam. Nggak tahu kenapa aku bisa diam begitu, yang jelas rasanya malu dan jijik sama diri sendiri. membayangkan bagaimana nantinya orang-orang menggunjingku, segala hal buruk itu akhirnya kupendam sendiri.

Pikiranku berputar-putar, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Perasaan hancur membuatku merasa kesepian. Siapa yang bisa aku percayai setelah semua ini? Ustaz Nur telah mengubah segalanya dalam sekejap, merusak dan menodaiku.

Hari-hari berlalu, tetapi ingatan pelecehan itu masih menghantui. Setiap kali aku mendengar suara hujan, ingatan pelecahan kembali mencuat. Masjid yang seharusnya menjadi tempat suci dan aman, berubah menjadi bayangan gelap yang selalu mengintai. Aku merasa seolah dunia di sekitarku nggak lagi aman. Setiap kali melangkah, aku mengingat peristiwa itu, seolah-olah terjebak dalam rasa takut dan cemas yang nggak kunjung reda.

Lihat selengkapnya