Seiring waktu berlalu, perasaanku terhadap Haru jadi aneh. Benar-benar aneh. Ada sebuah getaran yang sulit dijelaskan, dan secara rutin bayang-bayangnya pun selalu menggantung di dalam pikiranku.
Namun, aku tahu ini salah dan nggak ingin merusak persahabatan baik ini dengan mengungkapkan isi hati yang sangat terlarang dalam ajaran agama yang kuanut.
Ketika dia tertawa, aku juga ikut tertawa, meskipun di dalam hati aku merindukan keberanian untuk berbicara lebih jauh. Setiap momen bersamanya membuatku lebih sadar akan betapa berharganya dia dalam hidupku.
Hari-hari berlalu, dan entah mengapa kami semakin dekat. Bagi Haru, kedekatan ini sepertinya biasa. Namun, bagiku berbeda.
Aku tahu, Haru mungkin mulai merasakan sesuatu juga, semacam getaran seperti yang kurasakan. Ini cuma asumsi, sih. Alih-alih berbagi perasaan, aku memilih untuk menikmati momen yang ada, meskipun di dalam diriku ada rasa ngilu karena nggak bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya kurasakan.
Begitulah. Aku sungguh terjebak dalam pertanyaan, apa yang akan terjadi jika aku jujur padanya? Jika aku menyatakan, ada sesuatu yang lebih dari sekadar sahabat, akankah semuanya menjadi mudah? Apakah dia akan menghindariku? Ah, karena takut kehilangan Haru, aku memilih untuk menyimpannya di dalam hati, sama seperti menyimpan rapat-rapat pelecehan itu.
Oh, iya. Pernah kami bekerja di tempat yang sama, di tanah rantau.
Kehidupan di tanah rantau nggak selalu mudah, tetapi Haru membuatnya terasa lebih ringan. Dalam pertemanan kantor, aku masih sering merasa terasing, tetapi dengan adanya Haru, aku jadi merasa aman. Dia satu-satunya orang yang bisa membuatku merasa lebih baik, meskipun aku nggak berani menyatakan perasaan ini. Terkadang, aku sangat ingin melawan perasaan ini, tetapi saat melihat wajahnya, rasanya jadi begitu rumit.
***
Pernah suatu ketika, malam hari saat gerimis turun, kami duduk dan ngobrol di kafe. Saat kami lagi bercanda dan tertawa, aku merasa seolah-olah akan mengungkapkan segalanya.
Namun, lidahku terasa kelu. Hanya sebuah senyuman yang keluar ketika Haru mengatakan sesuatu. Perasaan itu terus berputar dalam diriku, membentuk kekacauan yang nggak bisa kujelaskan. Dalam benakku, ada keinginan untuk berteriak, "Aku suka padamu!" Sayangnya, semua itu hanya tertahan di dalam hati.
Dalam kesunyian, aku sering bertanya pada diriku sendiri, "Bagaimana jika aku mengambil risiko mengungkap perasaan yang sebenarnya?" Namun, pertanyaan itu selalu terjawab dengan keraguan.
Aku tahu perasaan ini adalah sesuatu yang penting, tetapi aku belum siap untuk menghadapinya karena memang salah. Kupikir, biarlah semua tetap tersembunyi di dalam hati, selama aku bisa menikmati momen-momen bersamanya. Dalam kepedihan dan ketidakpastian ini, aku berharap satu hari nanti, aku akan menemukan keberanian untuk mengungkapkan isi hati.