Gue benar-benar butuh waktu menyelesaikan membaca suratnya. Gue sengaja tak membaca lagi selama dua hari. Termasuk tak ingin diganggu Laras dan tidak mengunjungi Damai. Gue benar-benar kacau.
Namun, setelah berpikir panjang, rasanya salah kalau begini terus. Seharusnya gue bisa lebih profesional. Namun, perasaan aneh yang bergejolak di hati, rasanya sulit ditutupi. Ya, sebenarnya gue punya perasaan tersendiri pada Damai.
Tuhan, bisa-bisanya gue begini. Mungkin ini sebatas kekaguman, bukan cinta. Tak ada alasan buat gue suka sama dia. Apa sih yang Damai punya sampai menarik hati gue? Tidak ada! Tak ada alasan buat gue jatuh cinta sama Damai.
Maka, di sinilah gue berada, di kafe favorit.
Di tengah riuhnya pengunjung kafe—dipenuhi gelak tawa dan obrolan ringan—tidak terlalu gue pedulikan—gue duduk sendirian di bangku biasanya. Aroma kopi yang diseduh menyelimuti ruangan, mengombang-ambingkan perasaan gue, seperti busa cappuccino di cangkir depan gue yang tergeletak di atas meja. Dan bunyi hujan yang mengguyur, seperti menciptakan irama lembut yang berdetak di jendela. Suara hujan dan desah napas gue bak bersatu dalam harmoni yang menggambarkan perasaan saat ini.
Gue menatap secangkir cappuccino yang kemungkinan sudah mulai dingin. Tampak bulir-bulir busa susu membentuk pola unik di permukaan. Setiap bulir busa itu, seperti mewakili harapan gue yang terpendam—indah tapi rapuh. Sambil berusaha meredakan kekacauan dalam hati, gue menggenggam buku dengan tulus.
Ketika membuka laman berikutnya, jari-jari gue malah sedikit bergetar, seolah-olah kisah berikutnya, bisa merusak segala ketenangan yang gue dapatkan susah payah.
Dengan napas dalam-dalam, gue berusaha mencerna setiap kata. Di antara baris-baris yang tertulis, gue mulai melihat gambaran lebih besar yang ternyata berkaitan dengan hujan.
***
Kamu jangan sedih pas tahu kenyataan terdalam diriku ya. Jangan hakimi aku juga. Aku nggak meminta untuk dimengerti, melainkan cukup didoakan agar kelak bisa melepas perasaan yang salah itu dan hidup dalam lembaran baru. Sekarang, tibalah di bagian cerita yang mungkin kamu tunggu-tunggu.
Bertahun-tahun kemudian. Di saat aku telah berumur 32 tahun, rasanya sudah nggak bisa menanggung beban hati—semakin berat. Sungguh!
18 Juni 2024. Hujan masih mengguyur Desa Sarang Manis ketika aku tiba di tepian Sungai Alunan. Suara gemercik air yang mengalir terasa semakin nyaring dalam kesunyian. Aroma basah tanah, bebatuan, dan dedaunan menyatu dengan udara dingin, menciptakan suasana menenangkan. Dalam benakku, kenangan buruk itu berputar kembali—pelecehan di masa kecil.
Memori pahit itu muncul seperti cuplikan film diputar berulang-ulang. Dan selama melangkah di bawah rintik hujan yang sudah membasahi seluruh lekuk tubuhku, hingga sampai di tepian berkelok yang dipenuhi bebatuan besar berbagai ukuran dan bentuk, tiba-tiba aku merasakan gelombang emosi begitu kuat. Ketika aku berdiri dan memandang arus yang mengalir, wajah penuh nafsu Ustaz Nur jadi begitu jelas di ingatan. Ustaz Nur, dengan senyumnya yang menipu, telah mengubah hidupku jadi seperti di neraka!
Kamu tahu? Di sekitar sungai, pepohonan besar berdiri kokoh, batangnya berwarna kecokelatan dan bercampur dengan lumut hijau yang tumbuh di bagian bawah. Daun-daun basah menari-nari tertiup angin, seakan berbisik, seolah mereka tahu apa yang telah terjadi padaku dan apa yang seharusnya kulakukan. Dalam sekejap, semua rasa penyesalan, kemarahan, dan ketakutan berbaur menjadi satu. Jantungku berdebar kencang, dan jari-jariku terasa dingin.
Kamu mungkin merasa aneh dengan keputusanku hujan-hujanan seperti ini. Tapi, sebenarnya, aku punya alasan yang mungkin belum kamu temukan.
Izinkan aku menjelaskan. Aku menelepon Ustaz Nur dan meminta untuk bertemu. Suaranya yang terdengar di sepiker telepon sangat menjijikan. Penasaran dari mana mendapatkan nomor teleponnya? Ternyata, sahabat bapakku sering berbalas pesan dengan Ustaz Nur. Ketika aku ingin menghubungi Ustaz Nur, aku meminta bapakku mengirim pesan singkat pada sahabatnya agar mengirimkan nomor telepon Ustaz Nur. Seharusnya bapakku punya nomor itu, kan? Ternyata nggak, karena bapak bilang, Ustaz Nur semakin tua cenderung aneh.
Terdengar dehaman lembut. Aku berbalik dan melihat Ustaz Nur. Di usia senjanya, dia tampak lebih kurus, wajahnya dipenuhi keriput dengan bibirnya yang kala itu menghitam, dan rambutnya sepenuhnya beruban. Dia berdiri di bawah payung terbuka, menggenggam gagangnya dengan erat, melindungi dirinya dari hujan yang mulai mereda.
Ustaz Nur mengenakan baju muslim berwarna putih, penampilannya terlihat munafik. Senyumnya yang lebar seakan menyembunyikan niat lain, dan tatapannya terasa terlalu tajam. Ketika matanya menyapu tubuhku, aku bisa merasakan sorotnya tertuju pada celana panjang hitam yang kukenakan. Jantungku berdegup kencang, menyadari area mana yang disoroti dengan penuh minat. Menjijikan!
"Assalamualaikum," sapanya lembut.