Dua hari setelah mengirim foto yang berisi potongan pengakuan Damai dalam surat kedelapannya ke Mas Agus dan Mas Galih, gue lagi-lagi mendapat undangan forum diskusi yang dipandu Mas Galih. Padahal, kemarin Mas Agus juga menghubungi gue untuk diskusi daring di acara berita yang dia pandu, tapi entah kenapa, gue malas. Bukan karena tak mau, melainkan gue lelah.
Dan sekarang, di sinilah gue—duduk di depan cermin besar di ruang rias. Kilau lampu-lampu di atas kepala memantulkan bayangan gue. Suasananya cukup tenang di dalam ruangan ini, tapi di balik pintu, terdengar suara-suara tergesa dari orang-orang, yang mungkin lagi sibuk mengatur acara.
Asli, mood hari ini benar-benar di titik terendah. Gue baru saja mengganti pembalut yang gue bawa dari rumah, dan nyeri di pinggang mulai menusuk lebih tajam dari sebelumnya. Namun, percayalah, sakitnya masih jauh lebih ringan dibandingkan dengan nyeri yang tersisa saat mengetahui Damai dan Haru ada ‘kedekatan’. Meski semuanya sudah jelas di atas kertas, tapi bagi gue, kebenaran itu masih belum terang benderang. Seperti ada yang masih dipotong.
Suara pintu yang terbuka tiba-tiba menarik perhatian. Gue menoleh dan melihat Laras melangkah masuk dengan cepat. Tanpa basa-basi, dia menyeret kursi kayu bundar yang kakinya panjang empat ke sebelah gue. Kursinya berderit saat diseret. Dia langsung duduk dengan napas tersengal, tangannya buru-buru mengambil tisu dari tas dan mulai mengelap wajahnya yang basah.
"Harusnya, sih, cuma dandan sebentar," Laras mengomel sambil mengusap pipinya yang lengket. "Tadi aku kena lempar es krim sama perempuan berkerudung. Menyebalkan sekali!"
Gue menoleh sedikit. "Hah? dia punya masalah apa sama elu?"
Laras mengedikkan bahu sambil mendesah. "Mana kutahu, Rain. Di luar rame banget. Forum diskusi yang dipandu Mas Galih kali ini bakal pecah, serius. Kita harus siap mental kalau-kalau ada perdebatan panas."
Gue cuma bisa diam. Kendati dia bilang di luar sana suasana lagi ramai banget, gue nyaris tidak peduli. Kepala gue terjebak di perasaan yang makin tak karuan. Sejujurnya, gue ingin curhat karena sampai sekarang, Laras belum tahu tentang apa lagi gue rasakan.
"Eh, kenapa? Kelihatannya tak fokus.” Suara Laras tiba-tiba memecah lamunan, tatapannya tampak jeli, seolah-olah mau menerawang pikiran gue.
“Menstruasi, Ras. Lagi nyeri doang.” Pada akhirnya gue belum siap curhat.
“Oalah. Kalau mau ganti pembalut, ngomong saja. Nanti aku yang nyari.”
“Bawa stok, sih” Gue tersenyum. "Duh, baiknya teman gue."
Dalam hati, gue berharap waktu segera berlalu. Mungkin, setelah diskusi ini, gue bisa menemukan cara untuk bercerita atau setidaknya, mencari jalan untuk melepaskannya. Untuk saat ini, gue harus bertahan dan tetap profesional, meskipun hati dipenuhi gejolak.
***
Di tengah studio forum diskusi yang luas, suasana tegang merayap seperti kabut tak terlihat, menyelimuti setiap sudut ruangan. Lampu sorot di langit-langit berkedip seperti bintang-bintang neon, memancarkan cahaya terang yang tak kenal kompromi, menyoroti meja forum yang lebar dan megah, seolah-olah menantang orang-orang untuk bersiap menghadapi apa pun yang akan datang.
Dari tempat gue berdiri, cuma beberapa meter dari meja, semuanya terlihat jelas. Ada laptop, buku catatan, dan gelas-gelas air mineral yang tertata rapi—persis untuk masing-masing narasumber. Padahal, pas gue ke sini sebelumnya, meja itu kosong melompong, hanya hamparan hampa.
Dan di kejauhan, layar besar memproyeksikan logo acara dengan warna merah dan oranye yang menyala, seperti api yang siap membakar semangat diskusi malam ini.
Langkah gue semakin dekat dengan meja diskusi. Gue dan Laras berjalan santai di tengah penonton yang sudah duduk di bangku-bangku mereka, masing-masing menunggu dengan mata penuh antisipasi. Dari pakaian mereka saja, gue bisa langsung tebak, siapa saja yang hadir malam ini—mahasiswa universitas, aktivis, bahkan anggota organisasi keagamaan. Ada yang formal dengan setelan rapi, ada yang kasual, semuanya tampak antusias.