Tuhan, Boleh Ya, Aku Tidur Nggak Bangun Lagi?

Athar Farha
Chapter #25

Masih Forum Diskusi, Sesi Kedua dengan Percikan Debat

Ketika sesi diskusi kembali dimulai, Mas Galih Pramudi Kurnia mengambil alih kendali forum dengan ekspresi serius. “Terima kasih kepada semua yang masih setia bersama kami. Kini, kita akan memasuki bagian yang lebih dalam dari diskusi ini. Mari kita bahas pertanyaan yang mungkin lebih berat bagi sebagian orang. Saya ingin Ustaz Baim dan Ustazah Rini memberikan pandangan mereka.”

Ustaz Baim, dengan jubah putih yang membalut tubuhnya dan sorot mata tajam, mengangguk. Di sampingnya, Ustazah Rini mengenakan jilbab putih yang elegan, terlihat tenang. Mereka jelas sosok yang dihormati dalam organisasi keagamaan, dan ketenangan mereka berbanding terbalik dengan suasana hati gue yang semakin bergejolak.

“Ustaz Baim, Ustazah Rini, banyak orang yang beranggapan, tindakan Damai adalah hasil dari trauma. Namun, dalam konteks ajaran agama, bagaimana Anda melihat tindakan pembunuhan ini? Apakah ini sesuatu yang bisa dimaafkan?” tanya Mas Galih sok tak tahu apa-apa.

Suasana studio tiba-tiba terasa tegang. Ustaz Baim semakin tegak duduknya, dengan nada suara yang tegas dia menjawab, “Mas Galih, dalam pandangan kami, setiap tindakan yang merugikan orang lain, terutama yang berkaitan dengan pengambilan nyawa, adalah dosa besar. Apa pun alasannya, kita tidak bisa membenarkan pembunuhan. Damai mungkin adalah korban dalam cerita ini, tetapi dia juga pelaku. Setiap orang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya!”

Ustazah Rini mengangguk setuju. “Betul sekali, Ustaz Baim. Kita harus mengedepankan keadilan. Jika kita membiarkan tindakan Damai tanpa konsekuensi, kita akan memberi sinyal bahwa perilaku buruk dapat diterima jika dilandasi alasan emosional. Ini akan menjadi preseden buruk bagi masyarakat kita.”

Jantung gue berdegup kencang saat Mba Gita mendadak bicara, “Saya setuju dengan pendapat Ustaz dan Ustazah. Kita harus menegakkan hukum. Tidak peduli seberapa berat latar belakang yang dimiliki Damai, tindakan yang diambilnya tetap merupakan pelanggaran. Dia harus dihukum, dan kita tidak bisa membiarkan emosi mengubah fakta hukum.”

“Tidak segampang itu!” kata gue pelan, tapi setiap kata penuh penekanan.

Mas Galih memandang gue, tatapannya penuh dorongan. “Lanjutkan, Mba Rain. Lanjut kalau mau bicara lagi.”

Dengan mengumpulkan keberanian, gue menatap semua yang hadir, termasuk Ibu Melati dan Bapak Arif. “Saya menghargai pandangan semua pihak, tetapi saya ingin menekankan bahwa kita tidak bisa melihat kasus ini hanya dari satu sudut pandang. Tindakan Damai, dalam konteks psikologisnya, adalah hasil dari perjalanan panjang penderitaannya. Trauma yang dialami bukan hanya sekadar latar belakang, tapi menjadi bagian yang membentuk siapa dia saat ini! Ketika kita berbicara tentang perilaku manusia, kita harus mempertimbangkan banyak faktor, terutama kondisi mental. Dalam banyak kasus, individu yang mengalami trauma berat bisa bertindak di luar kendali mereka. Ini bukan berarti mereka tidak bertanggung jawab atas tindakan mereka, tapi kita harus memahami apa yang mendorong mereka sampai melakukan tindakan tersebut.”

“Bela saja terus!” ejek Mba Gita, nada suaranya sinis.

Mas Galih tampaknya terkejut dan menggeleng setelah mendengarnya.

Gue melanjutkan dengan lebih bersemangat, “Saya tidak berusaha untuk membenarkan apa yang dilakukan Damai! Namun, kita harus bisa melihat, tindakan pembunuhan ini bukanlah sekadar balas dendam. Ini adalah pelepasan trauma yang dalam, sebuah kebutuhan untuk mengakhiri penderitaan yang menggerogoti hidupnya. Dia tidak hanya berjuang melawan Ustaz Nur sebagai pelaku pelecehan, tapi juga melawan semua ingatan pahit yang selama ini menghantuinya!”

Ustaz Baim mengangkat tangan. “Mba, saya menghargai perspektif Anda. Namun, tetap saja, ajaran agama kita menekankan bahwa kehidupan adalah anugerah yang harus dihargai. Apa pun alasan Damai, dia telah mengambil nyawa seseorang. Ini adalah pelanggaran yang tidak bisa kita abaikan!” Nada suaranya tegas banget.

Ustazah Rini menambahkan, “Kita juga harus mempertimbangkan dampak dari keputusan kita terhadap masyarakat. Jika kita membiarkan tindakan ini tanpa hukuman yang setimpal, kita merusak nilai-nilai moral yang telah dibangun dalam masyarakat kita!”

Gue tak gentar. Tanpa dipersilakan, langsung membalas omongan mereka, “Saya tidak bilang kalau kita harus mengabaikan hukum. Yang saya maksud adalah kita perlu mengembangkan pemahaman yang lebih dalam mengenai kondisi psikologis pelaku. Ada kalanya individu berjuang dengan ketidakmampuan untuk mengatasi trauma yang mereka alami, dan ini dapat memengaruhi cara mereka merespons situasi.”

Lihat selengkapnya