Pandangan gue beralih ke Ibu Melati dan Bapak Arif setelah diskusi dibuka kembali oleh Mas Galih. Mereka terlihat tegang dan berharap, sementara mata mereka tidak pernah lepas dari meja diskusi—tempat gue dan para narasumber bersilang pendapat.
Ibu Melati, dengan mata yang sedikit berair, tampak berjuang menahan emosi. Ketika Mas Galih mengarahkan perhatian ke mereka, Ibu Melati berdiri dengan perlahan. Suaranya bergetar, tapi tekadnya terlihat jelas.
“Sabar, Bu,” kata Mas Galih. “Baiklah bila Anda mau mengatakan sesuatu.”
“Sebagai seorang ibu, saya ingin Damai mendapatkan keadilan. Apa yang dia lakukan memang salah, tapi dia adalah korban dalam semua ini. Dia telah melalui begitu banyak penderitaan, dan seharusnya tidak diperlakukan sebagai monster hanya karena terpaksa mengambil langkah yang salah.”
Mendengar pernyataan itu, hati gue tergerak. Ibu Melati berbicara dengan ketulusan, dan seolah-olah setiap kata yang diucapkannya adalah cerminan dari semua rasa sakit dan perjuangan yang telah dialami anaknya.
Di sisi lain, Bapak Arif berdiri di sampingnya, wajahnya tegas meskipun terlihat lelah. “Kami sudah tahu, bagaimana Damai berjuang melawan trauma yang menyiksanya. Dia bukan pembunuh yang ingin menghabisi nyawa orang lain. Dia melakukan ini untuk melindungi dirinya dari trauma. Kami berharap orang-orang bisa melihatnya dari sudut pandang yang lebih manusiawi.”
Gue bisa merasakan momen hari ini. Semua orang terdiam, seakan-akan terpengaruh. Bahkan Ustaz Baim dan Ustazah Rini, yang tadi tampak tegas dan skeptis, sekarang seperti tidak punya kata-kata balasan.
Mas Galih melanjutkan, “Jadi, apakah kalian mau meyakinkan pada kami …,” sesaat dia mengedarkan pandang ke gue dan lainnya. Kemudian, kembali menyoroti Ibu Melati dan Bapak Arif. “Maksudnya adalah, Bapak dan Ibu mau menekankwn, tindakan Damai seharusnya bisa dimengerti, meskipun dia membunuh?”
Ibu Melati menghela napas dalam-dalam, seolah menyusun kata-kata yang tepat. “Tentu saja. Damai tidak hanya berjuang melawan Ustaz Nur. Dia berjuang melawan dirinya sendiri, melawan bayang-bayang yang telah menghantuinya selama bertahun-tahun. Kami hanya ingin keadilan yang benar. Keadilan untuk Damai, bukan hanya untuk Ustaz Nur!”
Bapak Arif menambahkan, “Kami harap hukum bisa melihat fakta. Damai itu korban, dan tindakan yang dilakukannya merupakan hasil dari trauma atas perbuatan Ustaz Nur!.”
Mas Galih kemudian merespons, “Ini adalah pandangan yang penting, Ibu Melati, Bapak Arif. Kami semua di sini berusaha untuk memahami dan menciptakan dialog yang konstruktif. Semoga suara Anda didengar dan menjadi bagian dari keadilan untuk Damai.” Nada bicaranya terdengar bijak.
Mendengar itu, gue jadi merasa ada harapan. Saat Ibu Melati dan Bapak Arif duduk kembali, sorot mata mereka seperti menggambarkan, mereka siap berjuang demi keadilan anak mereka.