Pagi tadi, gue mendapat kabar, persidangan kasus Damai akan diselenggarakan besok. Terasa mendadak, padahal biasanya keputusan tanggal diumumkan beberapa hari sebelumnya. Tapi, mungkin ini sudah melalui berbagai pertimbangan, apalagi penahanan Damai sempat diperpanjang. Wajar saja, sepertinya.
Siang ini, setelah menghabiskan pagi dengan konseling tiga pasien yang datang sesuai jadwal, gue duduk di kafe biasa, menunggu Bang Ridwan. Ada sesuatu yang mau kita bahas. Pelayan kafe datang menghampiri tanpa membawa catatan pesanan, hanya nampan berisi tiga cangkir cappuccino. Gue sudah pesan minuman lebih dulu, niatnya mau mentraktir. Satunya lagi untuk Laras.
Gue mendengar deham yang sudah akrab di telinga. Ketika gue menoleh ke arah pintu, Bang Ridwan baru saja masuk. Aneh, pikir gue. Hidungnya terlihat lebih mancung dari biasanya, atau mungkin baru kali ini gue benar-benar memperhatikannya? Ups. Kumisnya juga lebih jelas hari ini, kemarin-kemarin kayaknya setipis kumis kucing. Ups. Oh, iya. Kami memang sudah lama kenal, tapi sebatas hubungan profesional di bawah naungan lembaga pemerintahan. Gue jarang benar-benar peduli dengan hal-hal kecil seperti ini.
Bang Ridwan menatap tiga cangkir cappuccino di atas meja. "Ceritanya lagi banyak duit?"
Gue tersenyum tipis. "Sekali-kali, Bang."
Dia duduk di hadapan gue, menyesap kopinya sejenak sebelum bertanya, "Jadi, ada apa?"
Gue menarik napas dalam. "Titip Damai, ya, Bang."
"Hah? Ada apa, Rain? Bukannya dia tanggung jawab dirimu?"
Gue berusaha tetap tenang, tapi tangan gue yang tak terlihat di bawah meja mulai meremas ujung lengan baju. "Ribet gue, Bang. Sekarang sudah mendekati persidangan. Maksud gue, boleh, kan, melepas pasien ke orang lain?"
"Boleh saja, tapi minimal ke yang setara, Rain. Gue cuma psikolog, dirimu psikiater forensik. Damai lebih butuh dirimu."
Gue menatap meja, menimbang kata-kata Bang Ridwan. Di satu sisi, gue ingin tetap mendampingi Damai, tapi hati gue terlalu kacau. Perasaan yang bikin dada gue meletup-letup terus menghantui pikiran gue.
"Rain ..." Suara Bang Ridwan pelan. "Dirimu baik-baik aja, kan?"
Gue mengangguk, memaksa senyum. "Iya, Bang. Gampanglah soal pergantian. Gue masih bisa temenin Damai, tapi nanti waktu persidangan sudah tamat, tolong elu yang gantiin gue dulu, ya. Nanti gue cari orang yang lebih tepat buat lanjutannya."
Bang Ridwan mengangguk. "Gampanglah kalau itu."
Di tengah obrolan, Laras muncul. Kali ini penampilannya agak berbeda—rambut kemerahannya kini dicat hitam pekat, dan lipstik merah menyala menonjol di bibirnya. Gue nyaris tak mengenalinya, tapi gaya menantangnya tetap sama.
"Rain..." Laras menoleh ke arah Bang Ridwan, lalu tersenyum. "Bang Ridwan, kan?"
Bang Ridwan terkekeh. "Kita seumuran atau?"
"Lebih tua Laras, lah," gue langsung menyela, yakin.
Laras mendecap. "Ridwan saja tak masalah," jawab Bang Ridwan santai. "Salam kenal, Mba Laras."
Laras mengangguk, menarik kursi dan duduk di sebelah gue. "Jadi, ada apa, Rain?"