Gue duduk di bangku pengunjung, di sudut ruang sidang Pengadilan Negeri Payung Teduh, tempat yang seharusnya tidak terlalu berisik, tapi nyatanya penuh dengan suara bisikan.
Gue ke sini bukan untuk Damai! Titik. Gue muncul cuma buat Laras. Ya, setidaknya meyakinkan diri begitu, rasanya cukup melegakan hati.
Suasana tegang bak mengisi ruangan, dan gue seakan-akan bisa merasakan ketidakpastian itu bergetar di udara. Di depan sana, Damai, yang menjadi sorotan utama, lagi duduk di meja pengacara bersama Laras dengan ekspresi sulit ditebak. Tatapannya kosong, seolah-olah terjebak dalam pikirannya sendiri.
Ruang sidang ini cukup luas, dikelilingi dinding berwarna putih pucat dan lantai keramik putih. Pada bagian depan ruang sidang, ada hakim wanita bertoga merah, duduk di belakang meja besar dan tinggi. Gue paham dia, sosok Hakim Ketua. Wajahnya tegas dan berkharisma, sorot matanya tampak tajam. Alisnya terangkat sedikit, bak menunjukkan kewaspadaan dan fokus yang tinggi terhadap jalannya persidangan. Rambutnya hitam dan panjang sedagu, itu mempertegas wajah ovalnya. Hidungnya kecil, sementara bibirnya tipis. Meski tampak tegas, gue merasakan ada kehangatan dalam tatapannya, seolah-olah dia memahami beban emosional yang dihadapi semua orang di ruangan ini.
Di samping kanan-kiri Hakim Ketua, ada dua Hakim Anggota, yang juga wanita, mengenakan toga merah. Di sisi lain ada meja Jaksa Penuntut Umum yang terletak di sebelah kiri meja hakim, ada tujuh Jaksa Penuntut Umum. Mereka duduk mengenakan toga hitam, seakan-akan menunjukkan otoritas dan tanggung jawabnya. Dan bersamaan dengan mereka ada sosok pria plontos, mengenakan seragam biru tua dengan lencana di dada kiri. Namun, dari posisi gue duduk, lencana memang terlihat tapi logo lencana kurang jelas. Namun, biasanya berupa gambar timbangan sebagai simbol keadilan.
Nah, pada sisi kanan meja hakim, ada meja pengacara yang menghadap meja Jaksa Penuntut Umum. Laras sekarang lagi berbincang dengan Damai. Di sisi lain, yang juga masih di meja pengacara, ada Mba Gita, yang mewakili keluarga Ustaz Nur, tampak berapi-api. Mereka sama-sama mengenakan toga hitam.
Oh, iya, keputusan akhir terkait persidangan Damai adalah, disiarkan secara langsung. Keputusan tersebut, sudah disiarkan sejak kemarin di berbagai berita, dan itu benar-benar menarik perhatian ratusan wartawan dan pengunjung.
Di antara banyaknya pengunjung di sini, ada dua kubu yang mungkin saling berselisih. Keluarga Ustaz Nur, berkumpul di sisi kiri dari tempat gue duduk. Bangku-bangku pengunjung sejak awal gue masuk, sudah ditata dengan di tengahnya membentuk jalan kecil. Ada banyak orang-orang berbusana muslim di sisi keluarga Ustaz Nur, gue bahkan melihat Ustaz Baim dan Ustazah Rini.
Menariknya, dari tempat gue duduk—persis di depan gue—ada orangtua Damai. Daster bunga-bunga yang Ibu Melati kenakan tampak kontras dengan suasana ruang sidang yang formal. Rambutnya sekarang sebahu, jelas itu baru dipangkas. Awalnya gue cuma bisa melihat punggungnya, tapi begitu beliau menoleh dan menyapa gue, wajahnya terlihat tenang. Di usia yang sepertinya sudah setengah abad, garis-garis di wajahnya mulai tampak lebih jelas. Yang membuat gue takjub, hari ini bibir tebalnya dipoles lipstik merah muda.
Di sampingnya, Bapak Arif berdiri dengan sikap tenang. Dari belakang, rambutnya penuh uban, seolah-olah menggambarkan beban waktu yang telah lama dia pikul. Tengkuknya berkerut, mungkin itu tanda perjalanan hidupnya selama ini. Gue baru menyadari, sejak dari forum diskusi itu, Damai itu begitu mirip dengannya, terutama dari bentuk hidungnya. ‘Kurang Mancung’, ups.
Mendadak, pengunjung bertambah dengan kedatangan enam pemuda. Salah satu dari mereka, Haru, yang langsung menarik perhatian gue. Tanpa sadar, gue melemparkan senyum, yang dia balas dengan senyum hangat. Ya Tuhan, kenapa dada gue tiba-tiba terasa sesak begini saat melihat Haru? Sejenak gue berusaha mengatur napas, mencoba menenangkan diri.
Setelah merasa lebih tenang, gue mulai memperhatikan pemuda-pemuda yang duduk dekat Haru. Mereka semua duduk di deretan bangku depan orangtua Damai. Gue penasaran, dan ketika bertanya pada Ibu Melati, barulah dia memperkenalkan mereka.
Yang bertubuh gemuk di sebelah kanan Haru itu bernama Bambang. Deskripsi yang Damai tulis di suratnya tentang Bambang masih sangat relevan meskipun sudah bertahun-tahun berlalu. Namun, Barzah, dulu giginya tonggos, sepertinya sudah menjalani perawatan ortodonti—gue sempat memperhatikannya saat mereka masuk tadi. Dia mengenakan kaus hitam dan duduk di sebelah Bambang.
Ibu Melati juga menjelaskan lebih lanjut. Yang rambutnya dicat cokelat dengan anting di telinga kirinya itu bernama Ridwan. Dia tampak mencolok dengan gaya nyentriknya. Lalu, yang bertubuh tinggi dengan kulit putih di sebelah Ridwan bernama Senot, sementara yang kulitnya gelap dan ada tato bintang kecil di tengkuknya adalah Ismail. Wajar, sih, di usia dewasa mereka berubah.
Namun, di mata gue, Haru tetap sama. Rambutnya masih kemerahan, kulitnya putih, hidungnya mancung—tak ada yang berubah darinya. Rasa ingin bicara empat mata dengannya mendadak menguat, jujur, gue sangat ingin tahu banyak hal tentang dia dan Damai.
***
Sepertinya ini sudah lima belas menit berlalu, dan sekarang jam sembilan pagi. Jalannya sidang agak tidak sesuai formalitas semestinya, dengan hakim-hakim yang sudah duduk di singgasana sejak tadi. Tiba-tiba perhatian gue tertuju pada pria plontos yang berdiri itu.