Malam ini, Alun-alun Payung Teduh dipenuhi suara gemerisik daun yang tertiup angin dan cahaya lampu kuning yang lembut. Haru dan gue duduk di bangku kayu yang terletak di tepi taman, dikelilingi pepohonan yang rindang. Lampu-lampu berkelap-kelip di atas kami memberikan kesan seolah-olah bintang-bintang turun untuk mendengarkan percakapan kami. Suara anak-anak yang bermain di sekitar kami, menciptakan latar yang ceria, tapi di hati kami, mungkin ada kesedihan yang membayangi.
Kami sengaja ketemuan di sini karena kemarin gue menolak kehadirannya dengan alasan ada seseorang yang mau menemui gue karena ada urusan penting. Asli, gue memanfaatkan nama Bang Ridwan untuk menghindarinya. Namun, malam ini gue merasa sudah cukup kuat berbincang dengannya.
Sebelumnya, gue menelepon Laras dan memintanya untuk menanyakan nomor telepon Haru, dan mengirimkannya ke gue. Setelah itu, dengan perasaan campur aduk, gue menelepon Haru dan mengajaknya ketemuan di sini.
“Gimana kabar Damai?” Haru memulai, suaranya lembut, tapi gue merasakan ada keinginan lebih, untuk mendengar lebih banyak tentang sahabatnya itu. Dia duduk tegak, seolah-olah siap mendengarkan semua yang ingin gue katakan.
Gue menatap Haru, melihat matanya yang sendu. “Damai baik-baik saja. Secara mental, dia runtuh sebenarnya,” jawab gue pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan keadaan yang rumit ini.
Haru mengangguk, meskipun raut wajahnya menunjukkan sedikit kekecewaan. “Saya tahu dia pasti punya banyak beban di pikirannya, tapi saya ingin jadi tempatnya bernaung. Saya merasa, seharusnya dia bisa percaya pada saya,” katanya, suaranya sedikit bergetar, menunjukkan betapa dalamnya perasaannya terhadap Damai.
Seandainya elu tahu, Damai punya perasaan lebih dari yang elu rasakan, masih bisa elu bilang begini? Dan gue tersenyum tipis padanya.
Dan ketika gue membatin, bersamaan dengan itu, gue melihat kilas balik ke masa ketika gue membaca surat Damai tentang kedekatan dia dengan Haru. Hati gue menyesak, mengenang kisah Damai, yang berusaha menutupi oriental seksualnya. Dan dengan sangat sadar gue membiarkan Haru tak tahu apa-apa biar persahabatan mereka tak rusak.
“Haru, gue tahu elu peduli sama Damai. Tapi ada sesuatu yang mungkin belum elu ketahui,” ucap gue, merasa perlu untuk membuka sedikit tabir misteri yang menyelubungi perasaan Damai.
“Apa itu?” tanya Haru, terlihat semakin penasaran.
“Gue merasa, Damai tidak ingin elu tahu betapa dalam rasa sakit yang dia alami. Dia mungkin berpikir akan melindungi elu dari beban itu.”
“Melindungi saya? Tapi … kami sahabat. Seharusnya dia merasa aman untuk berbagi,” jawab Haru, nada suaranya menunjukkan ketidakpahaman. Dia mengerutkan dahi, menunjukkan betapa bingung dirinya dengan situasi ini.
“Kadang, orang yang paling dekat dengan kita bisa jadi yang paling sulit untuk kita percayai, terutama ketika mereka merasa terancam oleh kenyataan pahit.” Gue berusaha membuatnya mengerti.
“Dan kamu?” Haru bertanya, matanya menyoroti rasa ingin tahunya. “Apa kamu tahu lebih banyak dari yang kamu katakan?”
Gue menundukkan kepala, merasakan tekanan dalam dada. “Gue ingin melindungi Damai. Tapi gue juga tahu, perasaan gue terhadapnya bakal sulit dia balas. Itu sebabnya aku tak ingin membebani hubungan kita berdua.”
“Perasaanmu?” Haru terkejut, matanya melebar, seolah semua yang terjadi baru saja terungkap di hadapannya. “Sebenarnya ada apa?”