Ruang sidang kembali dipenuhi berbagai emosi, campur aduk antara harapan dan ketakutan. Gue duduk di tempat yang sama seperti sebelumnya, merasakan getaran ketegangan yang seperti menggelayuti udara.
Di bagian belakang gue, sekilas gue perhatikan, deretan wartawan tampak sibuk dengan catatan mereka, kamera mengintip di antara kepala-kepala yang tertunduk, bagaikan siap menunggu momen penting. Mikrofon dari beberapa stasiun televisi berdiri tegak di sudut-sudut ruangan, termasuk di dekat gue, yang siap merekam setiap kata terlontar. Beberapa reporter dengan earphone di telinga, tengah melaporkan langsung jalannya persidangan. Di antara kerumunan, ada yang sesekali mengetik cepat dengan ponsel, seperti lagi memastikan berita segera tersampaikan kepada publik, sementara yang lainnya fokus mengabadikan momen dari balik lensa kamera. Mereka ada kok sejak kemarin, tapi gue hampir tak peduli, dan menganggap mereka cuma makhluk kasatmata. Ups.
Oh, iya, seperti kemarin, Damai duduk di sebelah Laras, terlihat lebih tegar hari ini. Namun, matanya tak bisa berbohong; ada kesedihan yang tak terucapkan, seolah-olah beban berat masih menggelayuti hatinya. Di seberangnya, ada Mba Gita, mengenakan kerudung merah yang dipadukan dengan rapi. Pilihan mode kerudung membuat pipinya yang sedikit tembam semakin terlihat mencolok. Meski begitu, sorot matanya, bak siap melanjutkan perjuangan keluarga Ustaz Nur.
Para hakim memasuki ruang sidang dan duduk dengan tenang. Beberapa menit kemudian, palu diketukkan dengan tegas, sidang pun dimulai. Suara dentangnya menggema, seolah-olah memanggil perhatian setiap orang yang hadir
“Sidang hari ini akan mendengarkan keterangan dari saksi-saksi,” suara Hakim Ketua terdengar jelas, memecah keheningan.
Tak lama berselang, berkacamata kotak di antara para Jaksa Penuntut umum, memanggil saksi pertama; pria paruh baya bernama Pak Yusuf, yang mengaku mengenal Ustaz Nur dengan baik. Gue sama sekali tak tahu apa-apa saja yang direncanakan, jadi baru melihat orang ini di persidangan. Bahkan di berita televisi pun sepertinya tak disebut-sebut.
Begitu Pak Yusuf melangkah ke tengah persidangan, gue benar-benar tertarik dengan apa yang akan dia sampaikan. Wajahnya tampak lelah, tapi sorot matanya menyiratkan duka. Saat tiba di hadapan hakim, dia berdiri tegak. Lantas seseorang mendekat dan menginstruksi beberapa hal terkait sumpah kesaksian. Hakim Ketua menatapnya serius, seperti sedang memastikan setiap kata yang terucap akan dibungkus sejujur mungkin.
“Demi Tuhan, saya bersumpah akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya,” ucap Pak Yusuf. Setelah sumpah diucapkan, dia duduk perlahan di kursi saksi, punggungnya tegak memunggungi pengunjung yang memenuhi ruang sidang.
Jaksa berkacamata kotak itu berdeham-deham seraya menata berkas-berkas, dan kemudian mulai bertanya, "Pak Yusuf, Anda mengenal Ustaz Nur dengan baik? Saya ingin ini jelas. Bisakah Anda menceritakan kepada kami tentang korban?"
“Ustaz Nur adalah sosok yang sangat luar biasa. Beliau tidak hanya mengajarkan agama kepada kami, tetapi juga menghidupkan Desa Sarang Manis. Sebelum beliau datang, desa kami sepi, kurang terurus. Tapi setelah Ustaz Nur memimpin, masjid menjadi pusat kegiatan. Beliau selalu ada untuk kami, memberikan petuah, mengajak kami menjaga persatuan.”
Pak Yusuf berhenti bicara, lalu melanjutkan. “Beliau mengajarkan banyak hal kepada kami. Seperti, nilai-nilai keagamaan, tentang hidup yang sederhana tapi penuh makna, tentang pentingnya kebersamaan. Saya ingat, setiap kali ada yang membutuhkan bantuan, Ustaz Nur adalah orang pertama yang datang. Beliau tidak hanya peduli dengan urusan agama, tetapi juga kesejahteraan warga.”
Pak Yusuf menundukkan kepala. Setiap kata yang keluar dari mulutnya mungkin saja menyayat perasaannya sendiri.
Hakim Ketua memandang saksi dengan tatapan tenang dan tajam. “Pak Yusuf,” ujar hakim, "dari yang Anda ceritakan, jelas Ustaz Nur sangat berarti bagi Desa Sarang Manis. Namun, apakah Anda pernah melihat adanya perubahan sikap beliau atau mendengar hal-hal yang tidak biasa terkait Ustaz Nur?"
Pak Yusuf tampak berpikir sejenak. "Tidak, Yang Mulia," jawabnya pelan. "Ustaz Nur selalu konsisten dengan ajarannya. Tidak pernah ada masalah atau rumor aneh tentang beliau. Semua orang di desa menghormati Ustaz Nur. Beliau adalah sosok yang sangat disegani, terutama oleh kami yang lebih tua."
Jaksa kembali melontarkan pertanyaan. "Pak Yusuf, apakah Anda pernah melihat terdakwa, Damai, berinteraksi dengan Ustaz Nur?"
“Saya tidak terlalu ingat, tapi saya pernah melihat Damai di masjid beberapa kali. Dia terlihat pendiam. Tidak banyak bicara dengan orang-orang lain, termasuk dengan Ustaz Nur. Kalau soal interaksi mereka, saya tidak pernah melihat yang mencurigakan.”
Sialan! Gue menahan kekesalan yang mendidih di dada. Apa yang Pak Yusuf katakan barusan membuat gue ingin berteriak. Merujuk pada surat-surat Damai, sikap pendiam dan terasing yang dia tunjukkan terjadi setelah pelecehan itu. Tapi di ruang sidang ini, gue cuma bisa diam, menggenggam erat tangan di pangkuan, berusaha tidak menunjukkan emosi berlebihan.
Gue ingin menginterupsi, berdiri dan membela Damai, tapi apa daya? Gue lagi jadi pengunjung. Jika Ibu Melati dan Bapak Arif hadir di sidang ini, mereka pasti bakal lebih emosi daripada gue. Iya, sejak tadi, batang hidung mereka tak kelihatan. Mereka mungkin butuh waktu sendiri, atau mungkin sedang mengumpulkan kekuatan buat menghadapi kenyataan pahit ini dan menonton persidangan di rumah.
Gue jadi penasaran. Ibu Melati dan Bapak Arif benar-benar memahami betapa pentingnya dukungan untuk Damai saat ini apa tidak, sih? Kemarin mereka memang hadir di sidang, tapi di akhir sesi, gue tak melihat ada interaksi yang berarti antara mereka dan Damai. Memang, suasananya tidak mudah, apalagi dengan kehadiran wartawan yang terus memburu berita. Tapi gue berharap ada momen, setidaknya, di mana mereka bisa menunjukkan dukungan lebih langsung—seperti memeluk atau sekadar berada di dekat Damai.
Mungkin benar, orangtua sebelum era sekarang, punya cara yang berbeda dalam menunjukkan kasih sayang. Bagi mereka, memberikan makanan dan memenuhi kebutuhan dasar itu sudah dianggap cukup. Tapi di situasi seperti ini, dukungan emosional jauh lebih penting. Bukannya gue menyalahkan, tapi mungkin mereka belum sepenuhnya memahami bagaimana mengekspresikan cinta dan dukungan dengan cara yang Damai butuhkan sekarang.
Gue kembali fokus menatap ke depan, memperhatikan setiap detail sidang dengan hati yang bergolak.
“Jadi Anda tidak tahu apakah Ustaz Nur dan Damai memiliki hubungan khusus?” tanya jaksa lagi, menekankan pada hubungan antara Damai dan Ustaz Nur.
“Saya tidak tahu banyak tentang itu, Pak. Saya hanya tahu bahwa Damai memang beberapa kali datang ke masjid, tapi apakah mereka dekat, saya tidak tahu.”
Hakim Ketua menatap Pak Yusuf dengan saksama. “Anda mengatakan bahwa Ustaz Nur banyak membantu desa. Bisakah Anda memberikan contoh konkret tentang kontribusi beliau?”
Pak Yusuf mengangguk. "Tentu, Yang Mulia. Ketika desa kami dilanda kekeringan, Ustaz Nurlah yang mengusulkan pembangunan sumur bor untuk warga. Beliau juga membentuk kelompok-kelompok kecil di masjid agar para pemuda bisa belajar lebih banyak tentang agama. Tidak hanya itu, Ustaz Nur sering memberikan bantuan bagi keluarga-keluarga yang kurang mampu. Beliau mengumpulkan dana dari dermawan dan membagikannya kepada yang membutuhkan. Bagi kami, Ustaz Nur lebih dari sekedar pemimpin agama, beliau adalah pelindung desa ini."
Suasana di ruang sidang semakin hening. Setiap kata yang diucapkan Pak Yusuf memperkuat citra Ustaz Nur sebagai sosok yang penuh kebaikan, dan sangat dihormati oleh masyarakat Desa Sarang Manis.