Gue tiba terlalu cepat untuk menghadiri persidangan. Ruang sidang masih lengang, hanya ada pantulan cahaya lampu di lantai keramik yang bersih mengilap. Dalam kesunyian itu, gue sempat membuka ponsel dan membaca pesan singkat dari Laras. Isi pesannya, dia sudah ada di gedung pengadilan bersama Damai. Gue pun berasumsi, kemungkinan mereka berada di ruang konsultasi. Ruangan kecil dan tenang di mana biasanya klien dan pengacara bertemu sebelum masuk ke persidangan. Ya, seharusnya di sana.
***
Dari luar ruang konsultasi yang ukurannya lebih kecil dibanding ruangan lainnya, gue hampir tak bisa mendengar apa pun. Sunyi, seolah ruangan itu memang didesain untuk menjaga privasi. Namun, penasaran mendorong gue untuk mendekat ke pintu, menempelkan kuping ke daun pintu dengan hati-hati. Perlahan, suara-suara mulai terdengar—bisik-bisik yang samar. Suara teredam, tapi cukup jelas untuk gue tahu kalau ada percakapan serius yang sedang berlangsung di dalam.
Gue lantas membuka pintu dan melangkah masuk. Pandangan pertama gue langsung tertuju pada Ibu Melati dan Bapak Arif yang duduk di samping Damai. Wajah mereka tenang, tapi gue bisa merasakan kehangatan yang mereka coba salurkan. Sepertinya, mereka sudah sejak tadi mendampingi Damai. Sementara itu, Laras tersenyum lebar pada gue.
Dalam hati, gue merasa lega dan senang banget, melihat, akhirnya ada dukungan yang nyata dari orangtua Damai. Gue yakin mereka sedang belajar—belajar menjadi orangtua yang bisa hadir dan mendukung anaknya, bahkan dalam situasi yang sulit seperti ini.
Bapak Arif menepuk pundak Damai dengan pelan, sementara Ibu Melati merangkul bahunya, seakan-akan ingin melindunginya dari beban yang dipikul. Di saat yang sama, gue merasa seperti tamu yang tak diundang—orang luar yang cuma nonton.
Damai menoleh ke arah gue, tatapan matanya tajam tapi juga seperti penuh permintaan yang tak terucapkan. “Bisa bicara sebentar?” suaranya pelan, agak ragu.
Gue cuma mengangguk, dan saat itu, Ibu Melati dan Bapak Arif saling berpandangan, kemudian bangkit dari kursi mereka. Laras juga berdiri, dan memberi tatapan penuh arti.
Setelah mereka keluar, gue duduk di hadapannya. Meja kecil di antara kami hampir tidak berarti. Damai menunduk, dan sepertinya tengah menatap lantai dengan tatapan yang mungkin kosong, sementara kedua tangannya saling menggenggam erat, seolah-olah menyembunyikan sesuatu dari gue.
Sesaat, ada dorongan dalam diri gue untuk bertanya, untuk mencari tahu kenapa dia mendadak jadi seperti itu—terlihat begitu tertutup dan terjaga. Tapi gue urungkan. Gue hanya diam, memberi ruang, membiarkan hening menggantung di antara kami. Detik demi detik pun berlalu.
“Aku tadi diperlihatkan kalau surat-surat yang kutulis … mmm … ternyata akan dijadikan bukti di persidangan.” Suaranya serak, terdengar rapuh. Kata-katanya bak tersangkut, dan terdengar seperti dia belum benar-benar siap membahasnya.
Gue mengangguk. “Iya, Dam.”
Damai menghela napas panjang, tatapan matanya jadi kosong sesaat, sebelum akhirnya menatap gue dengan sorot cemas. “Tapi kenapa? Seharusnya aku nggak menulis tentang … Haru. Nanti dia …” Damai tiba-tiba terdiam, suaranya perlahan meredup.