Saat kami sampai di luar ruang sidang, suasananya sudah ramai. Terdengar suara ketukan. Gue mengintip laju persidangan—di antara sekumpulan wartawan yang meliput—Haru agaknya mudah menyaksikan karena tubuhnya lebih tinggi dari gue.
Kursi-kursi pengunjung dipenuhi orang-orang yang mengikuti jalannya persidangan. Di barisan paling depan, tampak Ibu Melati dan Bapak Arif duduk. Di samping mereka, duduk Barzah, Bambang, Ismail, dan Senot—mereka tampak sengaja mengenakan kaus yang seragam. Kaus putih mereka terlihat sederhana, tapi di bawah lingkar leher belakang kaus itu tertera nama ‘Damai’, seolah-olah menjadi lambang dukungan tanpa suara. Kehadiran mereka seperti memberi warna di ruangan sidang yang serius.
Pria berkacamata kotak di meja Jaksa Penuntut Umum, berdiri setelah meminta dan mendapatkan izin berdiri saat menjelaskan barang bukti. Seketika, dirinya jadi sorotan. Dengan suara tegas dan penuh keyakinan, dia bicara, “Yang Mulia, terima kasih atas waktunya. Damai Sentosa dengan sangat sadar telah mengakui dirinya membunuh. Salah satu barang bukti utama kami adalah pisau yang … saat dirinya diamankan, Damai Sentosa mengakui barang ini yang digunakan menghabisi nyawa Ustaz Nur.”
Dengan gerakan yang tegas, dia mengangkat pisau itu tinggi-tinggi, memperlihatkannya kepada seluruh ruang sidang. Bentuk pisau itu langsung menarik perhatian. Menurut penjelasannya, bilah pisau ramping, panjang 20 sentimeter, ujungnya runcing dan tajam. Dan karena cahaya lampu memantul pada permukaan stainless steel yang mengilap itu, gue cukup mudah melihatnya dari jarak sekian meter.
Masih menurut penjelasan pria berkacamata kotak itu; gagang pisau terbuat dari kayu, warna hitamnya sedikit pudar dan terdapat bekas goresan tipis—seolah-olah sudah sering digunakan. Dan ada lekukan halus di sepanjang pegangan, yang pas untuk jari-jari, membuatnya mudah dipegang.
Pria berkacamata mata kotak itu kembali menjelaskan, “Pisau ini, Yang Mulia, memiliki jejak darah yang cocok dengan korban. Tidak hanya itu, sidik jari terdakwa ditemukan pada pegangan pisau ini, menunjukkan Damai tidak hanya berada di lokasi kejadian, tetapi juga menggunakan alat ini untuk membunuh.”
Dengan penjelasan yang jelas dan bukti yang kuat, pria berkacamata kotak itu berusaha meyakinkan majelis hakim dan mungkin juga pada semua orang di sini.
Gue merasa otak gue berputar mendengar pernyataan itu. Pisau di dalam surat Damai tidak pernah dijelaskan secara rinci, tapi sekarang semua mata tertuju pada benda itu—pisau daging yang sekarang diletakkan di atas meja bukti.
“Berdasarkan hasil penyelidikan, pisau ini teridentifikasi sebagai milik terdakwa, melalui pengakuan Damai Sentosa yang sangat meyakinkan. Kami juga telah melakukan uji DNA pada pisau ini.” m