Tuhan, Boleh Ya, Aku Tidur Nggak Bangun Lagi?

Athar Farha
Chapter #33

Bagian Sidang Ketiga yang Memanas

Di rumah makan, papan menu terpampang jelas dengan spesialnya ayam bakar, aroma rempahnya benar-benar menggoda.

Kami sudah duduk di bangku di meja tengah, dan gue melihat beberapa pengunjung yang juga sudah pada duduk di meja masing-masing, tengah fokus pada layar televisi datar yang bertengger di dinding. Layar itu menayangkan sidang di dalam gedung pengadilan, memperlihatkan setiap momen dramatis yang terjadi.

Biarpun tadi gue keroncongan, tapi anehnya jadi malas makan, pun dengan Haru yang katanya mending ‘ngopi’ bareng saja. Dengan secangkir kopi hangat di tangan, gue memperhatikan Haru yang tampak gelisah. Jari-jarinya memainkan cangkir, seolah-olah mencari cara untuk menyalurkan energi yang bergejolak di dalam dirinya, sementara tatapannya terpaku pada layar televisi.

Di layar televisi, Laras kini disorot, wajahnya menunjukkan keteguhan yang luar biasa. Dia tampak siap membela Damai dengan segala pengetahuan dan taktiknya.

“Bukti-bukti ini,” ucap Laras dengan suara lantang, “adalah surat-surat yang ditulis Damai dalam keadaan penuh kesadaran. Ini adalah bukti autentik yang menjelaskan kronologi kejadian sebenarnya, dan kisah-kisah masa lalunya bersama Ustaz Nur hingga akhirnya Damai dilecehkan!”

Jantung gue berdebar lebih cepat, seakan-akan setiap detak menambah beratnya beban yang kami bawa. Meskipun duduk di tempat yang jauh dari ruang sidang, suasana di rumah makan seakan menyusut, menjerat semua perhatian kami pada layar yang memancarkan ketegangan. Laras mulai memperlihatkan surat-surat itu, dan suasana di dalam rumah makan menjadi hening, semua pengunjung seakan menahan napas, terpaku pada layar.

Laras melanjutkan, “Di surat-surat ini, Damai mengakui perasaannya, mengungkapkan trauma yang dia alami, termasuk kejadian menyakitkan yang menimpa Damai, yang membuatnya harus hidup dalam trauma berkepanjangan. Ini adalah bagian penting dari cerita yang tidak bisa diabaikan.”

Entah mengapa gue seperti bisa merasakan harapan dan ketakutan bertarung di dalam diri Haru. Jari-jarinya masih tak henti memainkan cangkir, tapi kini juga menggigit-gigit bibirnya.

“Bahkan ada bagian di mana dia mengatakan betapa dia merasa tidak berdaya ketika menghadapi semua ini,” lanjut Laras, suaranya semakin tegas. “Dia tidak pernah bermaksud menyakiti siapapun. Ini adalah hasil dari trauma yang berkepanjangan!”

Lihat selengkapnya