“Saudara Haru, benar Anda orang paling dekat dengan Damai?” Begitu pertanyaan Hakim Ketua.
“Saya mengenal Damai sejak kecil. Kami berteman baik. Dia ceria,” jawab Haru, matanya berkilauan menahan emosi. “Namun, belakangan ini, saya melihat perubahan pada dirinya. Dia terlihat lebih tertutup dan sering mengalami cemas.”
Hakim Ketua mengangguk kecil, tatapannya tetap tak lepas dari Haru. “Lalu, apakah Anda melihat adanya perubahan sikap pada Damai akhir-akhir ini, selain perubahan yang terjadi di masa dulu dan sekarang?”
Sejenak, Haru terdiam. Suaranya terdengar serak saat menjawab, “Iya, Yang Mulia. Beberapa bulan terakhir, Damai jadi orang yang berbeda. Bahkan lebih berbeda. Maksud saya, dia memang sudah jadi pendiam. Namun, mendekati kejadian itu, Damai jadi lebih pendiam, dan sering tampak cemas, dan … terlihat seperti memendam sesuatu. Sesuatu yang sebenarnya saya sudah ketahui, dan sekarang pun sudah banyak orang ketahui melalui sidang ini. Kadang-kadang saya mencoba bertanya, ingin mengulik lebih dalam dari apa yang sudah saya ketahui, tapi dia hanya menghindar atau tersenyum seolah semuanya baik-baik saja. Seandainya saya mau lebih peduli lagi ke dia, atau setidaknya berani mengadu pada orangtuanya ….” Suaranya semakin lirih, dan Haru tampak menunduk, seperti berusaha menahan perasaan yang mengaduk-aduk batinnya. Tak lama berselang berkata lagi, “Saya sebenarnya kepikiran, kenapa momen pelecehan seksual yang Damai alami harus tetap disiarkan, maksud saya, biasanya meskipun terbuka, tapi akan ditutup saat membahas pelecehan, kan, Yang Mulia?”
Tatapan Hakim Ketua tetap tenang, meski sorot matanya lebih lembut saat melihat Haru yang tampak kesulitan menahan emosinya.
“Saudara Haru, biasanya memang dalam kasus yang melibatkan pelecehan, bagian-bagian yang sensitif akan disiarkan secara terbatas. Namun, dalam kasus ini, kejadiannya telah diketahui publik bahkan sebelum sidang dimulai. Oleh karena itu, sidang ini bertujuan untuk mengklarifikasi kebenaran dari kesaksian dan bukti yang dihadirkan, apakah ini bagian dari fakta yang mendukung atau sekadar klaim dari pihak pembela. Saya harap Saudara Haru memahami hal ini.” Hakim Ketua berhenti bicara sejenak, menatap Haru yang perlahan mengangguk, lalu melanjutkan dengan suara tegas, “Pertanyaan berikutnya, menurut Anda, adakah sesuatu dalam hari-hari sebelum kejadian yang mungkin memicu tindakan Damai terhadap korban?”
“Saya tidak tahu pasti, Yang Mulia, tapi saya merasakan ada ketakutan yang Damai rasakan. Dia pernah mengatakan sesuatu … bahwa dia merasa ada sesuatu yang mengancamnya, tapi tidak pernah menyebutkan siapa atau apa.” Haru menghela napas berat, mengepalkan tangan yang diletakkan di pangkuannya. “Dan ternyata baru saya sadari, sesuatu yang mengancamnya adalah trauma yang selama ini dia derita.”
“Apakah Anda pernah melihat tanda-tanda lain yang mengkhawatirkan pada Damai?” tanya Hakim Ketua dengan suara yang sedikit melunak, seperti berusaha membantu Haru mengungkapkan lebih banyak.
Haru menunduk, bagaikan tak kuasa menahan kesedihan yang selama ini dia simpan dalam hati. Akhirnya, tangisnya pecah perlahan di sana, dan ia berkata lirih, “Iya, Yang Mulia. Seperti kata saya, kamu cukup dekat. Begini, saya pernah melihatnya menangis sendirian, terduduk di pojok kamarnya. Saat saya mencoba mendekat, dia malah meminta saya untuk tidak bertanya, seolah dia tak ingin melibatkan saya.” Kalimat itu keluar lirih, seakan-akan terlalu berat.
Keheningan pun menyelimuti ruang sidang. Semua yang hadir seperti ikut merasakan kepedihan Haru, bak kesedihannya telah melingkupi ruangan. Gue bisa merasakan kejujuran Haru.