Si pelayan yang tadi mengganti acara, kini mengembalikan saluran televisi ke persidangan Damai. Di layar, suasana ruang sidang tampak tegang, meski penuh dengan orang yang duduk tenang dalam barisan bangku. Kamera dari samping, menyorot Ustazah Rini yang duduk dan tengah bersaksi. Tampak wajahnya teduh, dan duduk tegak. Suaranya lembut, tapi tiap kata seperti ada penekanan tertentu.
"Saya mengenal baik beliau, Bu Hakim," ujarnya. "Ustaz Nur itu orang baik. Kami sering berdiskusi. Banyak waktu kami habiskan untuk membahas masalah-masalah sosial yang menimpa warga, dan beliau selalu menunjukkan niat yang tulus untuk membantu."
Selagi Ustazah Rini bersaksi, layar pun menampakkan, Pengacara Gita, yang sejak kemarin tampak gigih membela keluarga Ustaz Nur. Dia terlihat tengah mencermati setiap kata Ustazah Rini dengan saksama. Ya, wajarlah, secara Pengacara Gita.
Kini, Pengacara Gita mengajukan pertanyaan dengan nada yang sengaja dibuat lembut, mungkin untuk memberi ruang bagi Ustazah Rini agar merasa nyaman saat bersaksi.
“Ustazah Rini, berdasarkan pengetahuan Anda selama ini, apakah menurut Anda mungkin surat-surat yang dipakai sebagai bukti dalam kasus ini, dibuat oleh pihak lain? Mungkinkah itu bisa direkayasa?”
Ustazah Rini menatapnya, lalu mengangguk pelan, seperti meyakinkan dirinya sendiri sebelum menjawab. "Iya, itu mungkin. Bukti hanya berupa surat dan pengakuan semata, kan? Surat itu bisa saja ditulis oleh orang lain, dibuat untuk menjelekkan nama beliau. Logika sederhana saja, saya juga bisa menulis suratnya lalu ngaku-ngaku yang aneh-aneh!"
Suasana ruang sidang seketika tampak tegang, bahkan dari layar televisi gue bisa merasakan gesekan pendapat di antara mereka yang duduk di sana. Kamera menyorot Pengacara Gita yang mengangguk puas, lalu mengarahkan pandangannya ke arah Damai dan Laras yang duduk bersebelahan. Ekspresi Laras terlihat tenang, sementara Damai tatapannya sulit diterka, mungkin sedang mencoba menutupi gejolak emosinya.
Pengacara Gita melanjutkan dengan nada yang terdengar semakin yakin, seolah-olah mendorong Ustazah Rini untuk menegaskan kembali argumennya. "Jadi, menurut Anda, surat-surat itu tidak seharusnya dijadikan dasar dalam kasus ini, begitu?"
Ustazah Rini mengangguk, wajahnya tampak semakin mantap. “Betul sekali. Saya yakin, kebenaran tidak bisa ditentukan dari bukti seperti itu saja. Ada banyak cara seseorang bisa memanipulasi bukti untuk kepentingannya sendiri. Dan, saya mohon, kita semua harus berhati-hati dalam mengambil keputusan.”
Dari layar, beberapa wajah tampak mengangguk, sementara yang lain terlihat tegang. Dari kursi saksi, suara lembut Ustazah Rini sepertinya telah membangkitkan gelombang keyakinan, dan memperkuat pandangan terkait sosok yang dia bela adalah orang yang tak bersalah.
Dari layar televisi, Laras memanfaatkan giliran bertanya. Dia menatap Ustazah Rini dengan tajam, tapi tetap dengan nada yang sopan, seakan-akan menantang tapi dengan rasa hormat.