Pagi ini, suara dering alarm mengganggu keheningan, membuat gue terbangun dengan mata yang masih berat. Dan ketika gue beranjak membuka jendela kamar, sinar matahari bak merayap masuk, yang seolah-olah memberi sinyal, gue harus siap bersaksi. Sesaat perasaan cemas menyelimuti, tapi gue lantas memejamkan mata untuk mengumpulkan keberanian.
Selain hangatnya cahaya matahari, gue juga merasakan dinginnya lantai pijakan telapak kaki. Pikiran gue pun melayang ke Damai. Hari ini, mau tak mau, sikap profesionalisme harus dikedepankan dan menyingkirkan sejenak masalah hati.
Gue tahu persidangan ini akan menjadi tantangan tersendiri. Yang berarti, stok pembalut harus ada di tas. Ups.
Selepas mandi dan merias diri, gue menyiapkan sarapan cepat—sekadar roti panggang dan segelas susu—sembari memikirkan semua yang mungkin terjadi di ruang sidang nanti.
Oh, iya. Laras menghubungi bertepatan gue mau tidur, setelah sekian menit Bang Ridwan menelepon. Dia memberi tahu, Bang Ridwan, belum akan tampil di kursi saksi. Gue penasaran, mengapa sesi Bang Ridwan diundur, tapi dari obrolan kami, jawabannya adalah taktik.
Laras bahkan bilang ke gue, “Kamu harus kuat, ya.” Meskipun suara Laras terdengar meyakinkan, gue cuma mengangguk pelan.
Setelah bersiap, gue mengenakan blazer hitam yang sedikit longgar dan kemeja polos berwarna abu-abu muda—tanpa aksesoris tambahan atau dasi, biar simpel. Setelah menarik napas panjang, gue melangkah keluar rumah, merasakan udara yang segar meskipun kegelisahan menyelinap. Setiap langkah menuju gedung. pengadilan terasa berat, seakan-akan tanah di bawah kaki gue menjadi lem.
***
Sesampainya di gedung pengadilan, suasana tegang langsung menyergap, meskipun sidang belum dimulai. Dan ketegangan itu, bagaikan merambat di antara deretan kursi dan wajah-wajah yang penuh harap maupun cemas.
Di barisan depan, terlihat Mba Gita sedang berbicara pelan dengan Ustaz Baim—entah mengapa lelaki itu bisa ada di sana, tapi wajahnya terlihat sangat serius. Laras dan Damai seperti biasa, duduk berdampingan, yang juga sedang mengobrol. Ketika gue melihat Laras menepuk-nepuk bahu Damai, gue bisa merasakan seakan-akan Laras lagi mendukungnya.
Sementara itu, di tempat gue saat ini—barisan kursi pengunjung. Gue melihat Ibu Melati, Bapak Arif, Haru, Senot, Bambang, dan Ismail, duduk berjejer, semua tampak tegang. Barzah? Gue tak melihatnya di sini. Entah dia tak datang, atau memilih untuk tak hadir.
Gue sengaja duduk di barisan kursi paling belakang, tepat di tengah, dekat jalur kecil yang langsung mengarah ke tempat kesaksian. Jantung gue berdegup cepat, hampir tak terkendali. Setiap suara langkah, setiap bisikan pelan, terasa seperti memantul lebih keras di kepala gue.
Tak lama, sidang dimulai. Suasana di ruang pengadilan tenang, tapi di kursi penonton sebelah sana—yang ditempati kubu pembela Ustaz Nur—kondisinya berbeda. Di antara mereka, yang mana Ustaz Baim sudah duduk di antara kubu pendukung Ustaz Nur, dirinya terus berkomentar, melontarkan kata-kata sarkas yang terdengar jelas, seperti berusaha memperlambat laju sidang.
Gue tak terkejut ketika Hakim Ketua mulai menunjukkan kekesalan, bahkan nyaris mengusirnya ketika suara Ustaz Baim makin nyaring dan mengganggu. Ketegangan terus meningkat sampai akhirnya sesi kesaksian ahli dibuka.
“Untuk sosok ahli berikutnya dari tim kami …,” suara Laras memecah ketegangan. Dia pun menyebut nama gue.
Ketika nama gue dipanggil, gue berusaha menegakkan punggung, menepis semua ketakutan yang mengintai. Dengan langkah yang mantap, gue melangkah ke depan. Hari ini, di hadapan hakim dan semua yang hadir, gue akan berbicara untuk Damai. Dalam hati, gue bertekad untuk memastikan suara gue tetap terdengar, meski dengan segala emosi yang bergejolak.
Setelah disumpah, gue mengatur napas sejenak, lalu mulai berbicara, dan seperti biasanya, berusaha menjaga nada formal. “Saya ingin menjelaskan kondisi mental terdakwa, Damai Sentosa, yang telah saya evaluasi selama beberapa minggu terakhir. Saya percaya bahwa pemahaman yang mendalam tentang kondisi psikologisnya sangat penting dalam mempertimbangkan motif dan kondisi yang melatarbelakangi tindakan yang terjadi.”