Selepas kesaksian itu, gue langsung pulang tanpa menunggu sidang selesai. Laras sempat menelepon, menanyakan kenapa gue pergi. Gue cuma bilang, “Pinggang gue lagi nyeri banget, efek menstruasi, mungkin.” Padahal, bukan itu alasan yang sebenarnya.
Gue pulang dengan hati berat, penuh sesak oleh perasaan yang tak bisa gue ungkapkan. Perasaan suka pada Damai yang selama ini terpenjara di dalam hati, seperti rahasia yang cuma jadi beban buat diri sendiri. Tapi sekarang, semuanya terasa lebih getir, karena gue tahu, dia mungkin lebih suka menyimpan nama Haru di hatinya. Perasaan yang dulu mungkin memberi semangat, sekarang terasa menyakitkan, seakan-akan menambah luka yang diam-diam gue bawa pulang.
Dalam pekatnya malam, sosok Damai muncul di dalam mimpi gue, lagi dan lagi, seperti bayangan yang tak mau pergi, bikin tidur jadi lebih mirip hukuman. Di setiap mimpi, wajahnya menatap gue, seolah-olah menuntut sesuatu. Rasanya kayak ada beban yang menghimpit dada gue, memicu rasa bersalah yang makin kuat. Gue tahu betul, tidak seharusnya punya perasaan semacam ini. Dia, kan, pembunuh, dan gue cuma sebatas profesional. Namun, entah kenapa, di tengah segala kekacauan yang mengelilinginya, ada perasaan yang malah tumbuh di hati gue. Bodoh banget, kan? Menahan perasaan ini bikin gue nyaris gila.
Di klinik, ketika gue tahu jam persidangan keenam sudah dimulai, setelah libur dua hari karena tanggal merah, saat ini entah mengapa ada rasa bersalah yang menghantui.
Gue belum bisa hadir mendukung Laras ... atau Damai. Harusnya gue ada di sana, tapi di sini, di tengah pasien-pasien yang membutuhkan perhatian, pikiran gue malah melayang jauh. Konsentrasi? Jauh dari harapan! Pasien-pasien dari rutan bercerita, keluhan-keluhan mereka mengalir, tapi suara mereka terdengar seperti gema dari kejauhan, tenggelam di tengah badai perasaan gue sendiri.