Sidang ketujuh ini sepertinya berjalan lambat, dengan rasa cemas yang menyelimuti ruangan. Saat menunggu sidang dimulai, Ibu Melati menghampiri gue. Raut wajahnya menunjukkan campuran harapan dan kelelahan.
"Gimana, Nak? Semoga kamu baik-baik saja di tengah semua ini," sapanya lembut.
Gue tersenyum, berusaha menyemangatinya. “Bu, saya di sini untuk mendukung. Bagaimana kabar Ibu?”
“Saya sehat, Nak Rain.”
Kami pun mengobrol banyak hal. Namun, karena ruangan semakin sesak oleh pengunjung, kami pun beranjak ke rumah makan di depan gedung pengadilan, jauh dari kerumunan wartawan yang terus berusaha mendapatkan berita. Di tempat yang tenang ini, kami duduk di sudut ruangan, yang tumben masih sepi dari pengunjung. Ibu Melati mulai membuka cerita.
“Bapak Arif tidak bisa hadir hari ini,” katanya, menghela napas. “Kawan-kawan Damai juga sepertinya kehilangan semangat untuk hadir. Mereka katanya mau nonton di rumah saja. Hanya Haru yang masih datang.”
Mendengar itu, hati gue terasa berat. “Paham, Bu. Damai pasti merasakannya. Oh, iya, Haru datang tapi kenapa tidak ada di sana?”
“Lagi berak, Nak.”
Gue menahan tawa.
Ibu Melati melanjutkan, “Saya ingin mengucapkan terima kasih atas kesaksian kamu sebagai ahli waktu itu. Maaf baru sekarang, waktu itu soalnya kamu langsung pergi. Itu sangat berarti bagi kami.” Matanya berkilau, mengungkapkan rasa syukur yang tulus.
Gue mengangguk, merasa ada tanggung jawab besar di pundak gue. Namun, tiba-tiba, Ibu Melati mengubah topik pembicaraan. “Tapi, saya juga merasa ada yang berubah dari sikap kamu terhadap Damai.”
Gue terkejut. Kenapa Ibu Melati bisa sampai pada kesimpulan itu? “Kenapa Ibu berpikir demikian?” tanya gue, penasaran.