Tuhan, Boleh Ya, Aku Tidur Nggak Bangun Lagi?

Athar Farha
Chapter #43

Bagian Sidang Kedelapan, Cinta yang Tak Seharusnya Ada

Sejauh ini, gue masih punya semangat untuk mengikuti persidangan. Jujur, bukan cuma Laras yang bikin gue bertahan—seingat gue waktu itu , dirinya yang meminta langsung ke gue untuk terus mendukungnya. Namun, gue datang juga untuk Damai.

Di persidangan kedelapan, terlihat jelas, proses hukum sedang bergulat dengan dilema yang rumit: mencari keadilan bagi korban pelecehan yang membunuh pelakunya, tapi di sisi lain, ada batasan hukum yang mengatur tentang kekerasan berujung pada kematian.

Suasana agak gaduh ketika Bapak Seto dihadirkan di kursi saksi sebagai ahli hukum. Gue masih ingat, beliau hadir di forum diskusinya Mas Galih. Gue tak menyangka sama sekali, kehadirannya memberikan bobot tambahan pada persidangan. Dalam kesaksiannya, Bapak Seto menekankan pentingnya sistem hukum yang tidak hanya adil tapi juga manusiawi, terutama dalam menghadapi kasus-kasus sensitif seperti pembunuhan yang didasari pelecehan seksual.

Bapak Seto menjelaskan, sistem hukum Indonesia sudah memiliki peraturan untuk menangani kasus pelecehan seksual, tapi tantangan yang dihadapi adalah penerapan dan penegakan hukum yang seringnya tak sejalan dengan keadilan. Salah satu hambatannya adalah kurangnya pemahaman aparat hukum tentang trauma yang dialami korban, hingga di persidangan kedelapan pun, sepertinya para hakim belum mampu memutuskan.

Selain itu, Bapak Seto juga menjelaskan terkait stigma sosial, yang juga menjadi penghalang bagi korban untuk melapor, sehingga banyak kasus pelecehan seksual tidak terselesaikan. Dalam kasus ini, Damai bungkam, sampai baru diketahui setelah pelakunya dia habisi.

Nah, gue cukup tertarik mengikuti diskusi yang memanas antara Bapak Seto dan para pengacara. Masing-masing pihak mengajukan berbagai sudut pandang mengenai tindakan Damai.

Mba Gita, mempertanyakan apakah tindakan Damai seharusnya dilihat sebagai balas dendam, mengingat kematian yang diakibatkannya.

Bapak Seto, meskipun menegaskan: kekerasan tidak bisa dibenarkan, tapi beliau juga menyoroti konsep "justifiable defense" atau pembelaan yang dapat diterima. Beliau menjelaskan, dalam beberapa kasus, terutama ketika korban berada dalam tekanan psikologis berat dan merasa terancam, hukum pidana mengakui, adanya tindakan ekstrem yang bisa muncul sebagai respons natural terhadap trauma itu sendiri.

Dan sejujurnya, setelah kesaksian Bapak Seto, sidang masih berlangsung alot dan akhirnya ditutup dengan berbagai pertanyaan yang menggantung di pikiran gue.

***

Malam sebelum sidang kesembilan, Laras mendorong gue untuk mengungkapkan perasaan terkait Damai. "Kamu harus bilang ke Damai, Rain. Supaya kamu tenang dan tidak kepikiran," katanya. Meskipun terdengar logis, gue masih ragu. Buat apa mengungkapkan perasaan ini jika pada akhirnya hanya menyakiti diri sendiri?

Namun, keesokan harinya, dengan sedikit keberanian dan pengaruh kata-kata Laras, gue memutuskan untuk pergi ke rutan. Suasana di dalam ruang temu, bagi gue cukup sepi karena Damai belum kunjung muncul. Oh, iya, dinding-dindingnya yang tadi gue sentuh terasa dingin dan catnya masih seperti yang gue lihat kemarin-kemarin, memudar.

Lihat selengkapnya