Pada akhirnya gue tak bisa memenuhi harapan Damai saat kami saling dekap.
Ya, demi menghormati keputusan, dan sesuai kesepakatan antara gue, Laras, dan Bang Ridwan beberapa waktu lalu, gue dengan menahan rasa sedih, menyerahkan Damai seutuhnya untuk diurus dan ditangani Bang Ridwan. Saat melepas Damai, rasa sedih tak henti-hentinya bergejolak. Namun, gue sadar itu adalah keputusan yang lebih baik.
Berminggu-minggu berlalu, dan gue sempat menjenguk Laras. Perutnya yang sudah agak membesar menjadi pengingat bahwa kehidupan terus berjalan, dan kehamilannya menjadi tanda gue harus mendukungnya terus, sama seperti dia mendukung gue selama ini.
Rumahnya yang masih dikelilingi hutan dan jalanan terjal membuat gue sedikit merasa bersalah. Rasanya, gue telah memaksa Laras untuk mengurus kasus Damai di tengah segala rintangan yang harus ditempuh. Namun, gue salut, dia tak pernah mengeluh tentang jarak rumah dan sulitnya jalanan yang harus dilaluinya.
Selama berminggu-minggu jauh dari Damai, gue malah menemukan teman baru, Haru. Tak terduga, kami bisa saling mengerti dan menjadi akrab. Alun-alun Payung Teduh, tempat pertama kali kami berbincang dari hati ke hati, kini menjadi tempat yang sering kami kunjungi bersama. Di sana, kami tertawa, berbagi cerita, dan menjalin persahabatan yang hangat. Haru membawa warna baru dalam hidup gue, dan berkat dia, gue bisa sedikit melupakan kesedihan yang pernah ada.
Yang paling menggembirakan adalah saat Haru mengajak gue berlibur ke air terjun yang indah, mengajak berenang di kolam renang wisata, dan makan bersama biarpun cuma makan nasi goreng di pinggiran jalan.
Melalui setiap momen itu, gue merasa lebih dekat dengan Haru, meskipun kita tidak terikat romansa. Teman-teman Damai, seperti Senot, Barzah, Bambang, dan Ismail, juga sudah menjadi bagian dari kehidupan gue. Karakter mereka sudah gue hafal, dan interaksi kami semakin akrab.
Warga Desa Sarang Manis juga menerima gue dengan tangan terbuka. Kehangatan yang mereka berikan membuat gue merasa seolah-olah bagian dari komunitas di desa. Mereka tak segan-segan mengundang gue untuk ikut dalam acara-acara desa, berbagi makanan, dan menceritakan kisah-kisah kehidupan mereka.
Meskipun ada kerinduan terhadap Damai karena dia masih diurus Bang Ridwan dan timnya, rasa syukur tak henti-hentinya menghampiri gue. Gue menyadari bahwa kehidupan itu seperti sungai yang mengalir—terkadang kita harus melepaskan sesuatu untuk memberi ruang bagi hal-hal baru. Dan mungkin, saat ini, hal baru itu adalah persahabatan yang tulus dan kebersamaan yang hangat di Desa Sarang Manis.
***
Siang ini, di klinik, gue lagi duduk santai. Haru, tanpa berkabar—menelepon atau kirim pesan singkat—tiba-tiba masuk, mengetuk pintu pun tidak.
Dia menatap gue dengan tatapan yang sulit gue prediksi. Suasana di dalam klinik mendadak 'membingungkan' ketika dia bilang, "Makasih sudah menjadi teman saya selama ini. Usaha saya mendekati kamu kala itu, hanya agar kamu tidak benar-benar jauh dari Damai."
Gue sama sekali tidak paham dengan pernyataannya itu. Hati gue mulai berdebar, dan rasa penasaran menggelayuti pikiran. Dirinya yang bersikap begitu, jadi mengingatkan gue pada momen di masa-masa persidangan; kelakuannya yang bikin gue curiga.
"Pokoknya, makasih sudah jadi teman saya. Saya sudah siap dengan apa yang akan kamu pilih, Rain," katanya sambil merogoh saku celananya. Dia mengeluarkan sepucuk kertas yang dilipat-lipat dan menyerahkannya kepada gue.
Ya, Tuhan. Kertas ini terasa sangat familier. Wajah Damai tiba-tiba muncul dalam benak gue.
"Kenapa, Rain?" Matanya tajam menatap gue.
"Ini apa? Kayak—"
"Iya, itu kertas dari buku yang kamu kasih. Itu surat Damai, yang Damai robek saat saya mengunjungi dia. Dia sebelumnya minta maaf karena menuliskan kisah itu, karena kesannya malah mau menyelamatkan diri, dan melupakan segala apa yang saya lakukan untuknya."
Mendengar penjelasannya, jantung gue berdegup kencang. Seketika ingatan tentang Laras yang membahas robekan kertas di buku itu muncul ke permukaan.
"Maksudnya apa, sih?" Gue masih bingung.
"Damai merobek bagian itu bukan karena saya yang minta, tapi karena dia merasa itu harus. Dia sampai minta maaf ke saya, ngaku kalau … entah mengapa dirinya bisa sejujur itu menulis suratnya. Dia mengira, mungkin dirinya sudah terlalu nyaman sama kamu. Tapi saya jujur, soal Damai yang tak memperbolehkan saya membaca surat di buku itu. Ingat, kan, saya pernah bilang begitu? Seharusnya, saya mencegah Damai merobek kertasnya, sayangnya tidak. Sampai dia bilang, mau bikin kronologi versi lain. Saya tak terlalu menanggapi karena ada rasa bersalah yang mencuat. Sebenarnya ...." Haru terdiam.
Kepala gue berdenyut-denyut. Semua yang baru saja diungkapkan Haru membingungkan. Kertas di tangan gue jadi terasa berat, seolah-olah memuat semua rahasia Damai yang tak terungkap.
Hati gue bergejolak. Gue duduk terdiam, memandangi kertas yang seolah berbicara sendiri. Sementara Haru masih berdiri dengan wajah pucat, dan sebelum gue benar-benar membacanya, Haru berkata, “Saya ulangi, Rain. Damai menulis ulang kronologi pembunuhan Ustaz Nur dengan versi lain, setelah merobek kertas berisi tulisan kisah sebenarnya, yang kemudian dia berikan pada saya. Mungkin dia mengira saya akan membuangnya, tapi sejujurnya saya simpan terus. Ini versi aslinya. Mungkin inilah saat yang tepat mengungkapkan kebenaran itu.”
Gue tak menggubris dan membaca surat Damai.
***
—