Tuhan di Persimpangan Jalan

Endang Hadiyanti
Chapter #2

Seriously? #Bab 1

Balai Pelatihan Perawatan Kesehatan (BP2K) Arsa Husada menjadi kampus tujuan aku dan adikku sesampainya di Solo. Aku yang sudah gap year selama satu tahun tentu tidak bisa menolak saat mendapatkan titah menemani Radit dan menjaga Mbah di kampung halaman. Lebih tepatnya, aku tak punya alasan untuk menolak. Kuliah ini pun dijadwalkan hanya satu tahun, dan jika kami beruntung akan bisa langsung bekerja hingga tidak perlu menyulitkan papa lagi menjelang masa pensiunnya.

Hari pertama kuliah kami jajaki dengan menggunakan angkutan umum dan sampai lima belas menit sebelum jadwal yang diagendakan. Aku memang begitu orangnya, tidak suka terburu-buru, tidak suka mepet waktu, apalagi terlambat. Radit yang biasanya malas-malasan-pun terpaksa mengikuti ritmeku agar tidak perlu mendengar ocehan sepanjang rel kereta api.

Tak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa semangat teman-teman sekelas dan seangkatan (total hanya ada dua kelas) sangat rendah. Awalnya kukira karena mereka orang Jawa asli yang suaranya lemah lembut semua … tetapi setelah hampir seharian bersama, aku bisa lihat bahwa itu adalah bentuk kekecewaan mereka yang tidak lulus di kampus negeri lalu “terpaksa” kuliah di tempat ini hanya untuk mendapatkan gelar diploma satu (D1).

Aku yang sudah melalui masa satu tahun setamat SMA tanpa pendidikan lebih lanjut tentu merasakan hal berbeda. Bisa kuliah lagi adalah hal yang sangat kusyukuri. Radit kuliah dengan beasiswa penuh dari lembaga ini, sementara aku menggunakan dana pribadi dari orang tua. Beberapa teman lain mendapatkan beasiswa dengan nominal yang beragam, tidak semua seberuntung Radit.

***

Tiga hari waktu berlalu sudah cukup untukku mengenal hampir semua teman baru di Arsa Husada ini, begitupun dengan para staf. Waktunya telah tiba untuk memulai rencanaku!

“Beneran nih, Mel? Kamu yakin bukan kamu saja yang kita pilih?” Nia terkejut saat kubujuk mereka memilih Radit dalam pemilihan ketua angkatan beberapa hari lagi.

“Iya, cobalah kalian lihat adik aku itu. Posturnya bagus, gayanya necis, bicaranya terstruktur, pembawaannya juga tenang, enggak meledak-ledak seperti aku.”

Koe emang meledak, kok, koyo kompor gas ….” Seseorang menyahut dari bagian paling belakang kelas.

Aku terkejut dan memandang dengan saksama bagian dari ruang kelas yang sedikit gelap itu. Tak kuduga ada seseorang di sana. Seseorang yang belum pernah kukenal sebelumnya. Dia tertidur di kursi dengan rambut gondrong menutupi mata. Dua kancing teratas kemejanya tidak terpasang, dan celana bagian kiri terlipat hingga setengah lutut yang memperlihatkan beberapa gelang kaki warna-warni berjejer dari mata kaki hingga betis.

“Siapa?” tanyaku sedikit berbisik pada segerombolan teman perempuan yang mengelilingiku. Semua menggelengkan kepalanya.

Aku melangkah perlahan, keluar dari kerumunan, menuju lelaki itu. Pakaiannya sama dengan kami, baju putih seperti perawat yang tentunya tidak bisa dipakai oleh sembarang orang. Tapi, kenapa baru kali ini aku melihatnya? Padahal aku sudah sangat yakin mengenal semua orang di lingkungan Arsa Husada ini, hingga penjaga kebersihan sekalipun.

“Kamu siapa?” tanyaku saat kami hanya berjarak satu meter.

“Amiel,” jawabnya malas-malasan.

“Kamu ngeledek aku, ya! Nama aku Amelia, bukan Amiel.” Suaraku spontan meninggi.

Koe emang beneran kompor gas, ya? Gampang banget meledak.” Dia menggeleng-gelengkan kepala sembari menutup kedua telinga. Poninya tersibak hingga aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Matanya bagus. Bagian wajah lainnya juga tidak ada yang aneh. Lalu kenapa dia menutupi wajahnya dengan rambut gondrong begitu? Name tag di dadanya menunjukkan nama Amiel Benedict Antonius. Ternyata … dia tidak sedang meledekku.

“Aku mau lanjut tidur …, bisa enggak, tolong jangan di sini ngobrolnya,” lanjutnya tanpa perasaan bersalah.

“Heh, tidur itu di rumah! Ini kampus, ngapain kamu tidur di sini? Belum lagi tampilan begini, niat kuliah enggak, sih, kamu itu?” Aku meraih kedua bahunya dan membuatnya berada dalam posisi duduk tegak.

Dia terkejut tetapi tidak menepis tanganku. Pandangannya berubah dari yang tadi samar menjadi lebih tegas dan dengan berani menatap jauh ke dalam mataku.

***

Lihat selengkapnya