Tuhan di Persimpangan Jalan

Endang Hadiyanti
Chapter #3

Welcome to Our Home #Bab 2

“Maaf banget jadi merepotkan, Mbak.” Aku menyambut Mbak Widuri, saudara sepupu yang dulu tinggal di rumah ini sebelum kami datang. Kepindahannya dari rumah Mbah Putri yang semula direncanakan jika dia sudah resmi menikah, ternyata menjadi begitu pahit karena ia memilih tetap pindah untuk menyembuhkan luka hati karena batal menggelar pernikahan yang hanya tinggal menghitung hari. Katanya, kedatangan aku dan Radit di rumah ini membuatnya jadi lebih lega karena tak perlu merisaukan Mbah Putri selama ia memperbaiki kondisi hatinya.

“Enggak apa-apa, Mbak malah senang dimintai bantuan begini.” Wanita berkulit putih bersih berusia kepala tiga itu menjawab dengan sangat lembut. Ia ditemani Mas Ari, abangnya, yang juga selalu ramah kepada kami dari dulu, meskipun jarang berjumpa. Mereka tinggal cukup jauh dari rumah ini … butuh waktu sekitar tiga puluh menit dengan menggunakan sepeda motor kecepatan sedang.

“Nanti kami pulangnya sekitar jam 12-an, Mbak. Bener, nih, enggak apa-apa Mel tinggal?” Aku masih ragu menyusul Radit yang sudah bersiap di depan pintu.

“Iya …. Mbak seneng dan bangga mendengar Radit terpilih menjadi ketua angkatan di kampus kalian. Jadi, biarkan Mbak menyiapkan yang terbaik untuk kalian siang ini, ya. Mbah juga pasti senang melihat rumah ini ramai.” Ia melirik Mbah Putri kami yang berusia lebih dari delapan puluh tahun namun masih sangat mandiri dalam semua aktivitasnya. Mbah bahkan sampai harus diingatkan berkali-kali untuk tidak menyapu rumah dan halaman, agar tulang punggungnya tetap sehat. Beliau tak pernah masalah mengerjakan urusan rumah, tapi kami yang risau melihatnya. Satu-satunya masalah mbah hanya pikun, terkadang beliau lupa siapa aku, siapa Radit, dan bahkan siapa Mbak Widuri yang sudah menemani beliau lebih dari lima tahun di rumah ini.

“Ya sudah, nanti Mel balas dengan nemenin Mbak jalan-jalan. Terserah Mbak mau jalan kemana,” ucapku sebelum benar-benar meninggalkan mereka.

“Kalau begitu, temenin Mas naik gunung juga, ya. ‘Kan, Mas ikut bantu di sini, hehe,” sambar Mas Ari yang kebetulan punya hobi sama denganku. Tentu saja aku mengangguk cepat sembari mengacungkan jempol. Sejujurnya aku tak menduga dia akan membantu Mbak Wid, mengingat biasanya dia sibuk bekerja di kampus UNS (Universitas Sebelas Maret) dan jarang sekali mengambil cuti atau libur.

“Iya, deal. Udah, buruan pergi kuliah sana … Kamu ‘kan tidak suka terlambat.” Mbak Wid membalik paksa tubuhku dan perlahan mendorongnya.

“Eh, kok, kowe iso ngerti rumah kami?” Bukannya terkejut melihatku yang didorong Mbak Wid hingga ke sisinya, Radit lebih dulu dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang kami kenal di depan pagar.

“Iseng lewat aja, kebetulan aku keluar cepat pagi ini.” Ben menjawab sembari turun dari motor dan menggeser pagar yang menimbulkan bunyi cukup kuat. “Ada helm? Kalau ada, bareng aku aja, yok,” ajaknya tanpa basa-basi.

Apa-apaan dia … jika Radit pergi dengan dia, apa itu artinya aku harus naik angkot sendirian? Keningku mulai berkerut.

“Eh, Mbah, Mas, Mbak, selamat pagi. Saya Ben, temannya Radit.” Ben sedikit membungkukkan badan untuk menyapa semua orang di teras ini. Dia tidak masuk ke halaman rumah meski tadi membuka pintu pagar sendiri.

Radit bergerak sigap untuk mengambil helm di dalam kamarnya lalu langsung bersiap di belakang motor antik Ben.

Aku menghela napas panjang melihat mereka pergi begitu saja.  

***

“Makasih ya, Mas. Jadi double ini merepotkannya.” Aku memberikan helm pada Mas Ari yang pada akhirnya mengantarku ke kampus. Dia dan Mbak Wid tidak tega membiarkanku naik angkot sendirian.

“Kalau begitu, kita dua kali naik gunungnya,” jawabnya sembari terkekeh-kekeh di ujung kalimat.

“Ya …. InshaAllah kalau waktunya cocok kita gas,” jawabku sekenanya.

Pandangan mataku menangkap Ben yang duduk tak jauh dari jejeran motor. Dia terlihat persis seperti tukang parkir. Kuperhatikan di sekitarnya tidak ada orang dan dengan jelas terlihat asap tipis mengepul di sekitar wajahnya.

Lihat selengkapnya