Januari sudah datang. Untuk menepati janji pada Mbak Widuri saat Radit terpilih menjadi ketua angkatan di bulan September lalu, aku akan menemaninya pergi ke Pekan Raya Solo malam Minggu ini. Tentu saja pergi bersama Mbak Wid akan menguntungkan untukku. Aku tak perlu kebingungan seperti saat pertama kali sampai di rumah mbah dan ditanya tetangga, "Asmane sinten?" atau pertanyaan semacam, “Daleme pundi?” saat berkenalan dengan orang baru di suatu tempat, dan berbagai jenis pertayaan lainnya. Harus kuakui bahasa Jawa itu sulit … sudah lebih dari empat bulan di sini, aku masih sering keliru menggunakan bahasa Jawa Kasar alias Ngoko pada orang yang lebih tua dan berujung ditegur teman-teman. Boro-boro mau menggunakan bahasa Jawa Alus atau Kromo Inggil, sungguh suatu hal yang nampaknya mustahil untukku.
“Wah, Mbak cantik sekali,” pujiku tulus saat melihatnya mengenakan baju kemeja putih dengan rok batik berwarna kontras. Rambutnya yang lurus sebahu dibiarkan tergerai dengan sedikit poni pendek di bagian dahi. Bibirnya yang tipis dihiasi lipstik berwarna merah muda, hingga tak sedikitpun terlihat tanda-tanda usia 30-an di wajahnya.
“Kamu begitu aja?” tanyanya heran melihatku bercelana jeans gombroh.
“Ya, mau bagaimana lagi, Mbak. Aku pinjam motor Ben, tapi yang dipinjamkannya motor jenis ini.” Aku menjatuhkan pandangan pada Honda Tiger Hitam yang sekarang parkir di halaman rumah. Salahku memang karena tidak bilang secara detail tentang motor apa yang ingin aku pinjam. Aku hanya minta tolong Radit pinjam motor pada Ben selama satu hari. Kupikir ia akan meminjamkan motor CB-nya yang antik itu, atau motor Impresa milik papinya yang pernah sesekali dibawa ke kampus, jadi tidak akan menyulitkanku untuk pergi kemana-mana. Siapa sangka dia malah meminjamkan motor Alex, adiknya yang jadi anak kesayangan mami sampai-sampai masih SMA pun sudah bawa motor keren ke sekolah.
“Duh, apa enggak apa-apa kalau aku duduk menyamping?” Tiba-tiba saja Mbak Wid kikuk dan mulai memutar-mutar roknya. Ia malah terlihat seperti tuan putri sekarang, dengan gerakannya yang begitu gemulai. Heran, bagaimana bisa calon suaminya kemarin pergi begitu saja usai berhubungan serius selama hampir lima tahun.
“InshaAllah enggak apa-apa. Kalau Mbak ketagihan pakai motornya, besok juga masih bisa kita pakai jalan, kok. Katanya dia baru akan jemput sepulang dari gereja, mungkin malam hari,” ucapku sembari mengambil posisi mengemudi di atas motor.
“Oke deh, selama kamu enggak geli aku peluk, sepertinya kita akan baik-baik saja, hahaha ….” Tawanya terpecah sesaat sebelum melingkarkan tangan di pinggangku.
***
Benar saja. Sesampainya di area Pekan Raya Solo, tepatnya di Alun-alun Kidul, Mbak Wid langsung bertindak selaku penerjemah untukku. Aku tak banyak bicara apalagi memberanikan diri bertanya ini itu kepada para petugas yang jaga di stan. Lebih baik kupercayakan saja semua pada Mbak Wid, termasuk saat seorang penjaga museum Keraton tiba-tiba memanggilku dan mengajak berbicang. Kami mengalami spiritual journey yang mengesankan di stan yang memperlihatkan benda-benda pusaka milik Keraton. Beliau bahkan berpesan agar kami datang lagi esok hari karena dia ingin memperlihatkan sesuatu yang lebih menarik.
“Boleh juga, tuh, besok kita ke sini lagi mumpung motornya belum dibalikin. Sekalian ngimpasin … Kamu ‘kan udah dua kali aja naik gunung sama Mas Ari.” Mbak Wid memasang helmnya dengan penuh semangat saat kami hendak pulang.
“Tapi Mbak, bukannya tadi Mbak nyuruh mas-mas yang nunggu di meja tamu paling depan itu untuk datang ke rumah besok malam, ya?” Aku mengingatkan.
“Astaga … iya, aku lupa. Apa kita datangnya sore aja, ya, lalu pulang sebelum Magrib.”
“Mel enggak apa-apa, sih, Mbak. Lagipula Mbak lucu juga, hanya karena si Mas bilang rumahnya di Cengklik, eh, langsung disuruh mampir ke rumah besok malam pas dia lagi enggak giliran jaga.”
“Ya …, itu supaya kamu nambah teman lagi, syukur-syukur jadi gebetan. Dia ‘kan finalis Putra Solo tahun lalu. Cakepnya kita udah lihat, pintarnya juga udah pasti teruji waktu seleksi dulu.”
“Mel ‘kan sudah ada pacar, Mbak.” Aku mencoba mengingatkan. Semenjak Nia memutuskan untuk putus kuliah dua bulan lalu, aku jadi tidak punya teman curhat dan Mbak Wid lah yang kemudian menggantikan posisi Nia.
“Pacar macam apa yang dalam sebulan belum tentu menghubungi barang sekali.” Ia menggerutu.
“Ya …, dia ‘kan bukan orang berada, Mbak. Mel ngerti sulitnya dia di sana seperti apa.” Walau hatiku sebenarnya bimbang, tapi tetap saja kubela laki-laki yang sudah menjadi pacarku semenjak kelas 2 SMP itu.
***
[Mel, kapan-kapan aja kita jalan lagi, ya. Mbak mendadak ada perlu. Semoga berhasil dengan si Arkha.] Pesan singkat yang masuk kategori tidak singkat itu membuatku melepas kembali celana jeans dan memutuskan untuk bercelana pendek saja.
Kuputar-putar gawai sembari menimbang akan menghubungi Sebastian atau tidak. Besok aku ulang tahun. Pikiranku jadi berlarian kemana-mana. Apa memang dia tidak akan memperjuangkan untuk menghubungiku di momen bahagia tersebut? Seandainya kuhubungi sekarang untuk membuat dia mengingat tanggal ulang tahunku, apakah akan berguna? Ataukah hanya akan membuatku terlihat menjadi pihak yang banyak berharap?
“Ah!” Kuhempaskan badan di ranjang kayu hingga berderit-derit. Sepertinya aku memang lemah menghadapi lelah pikiran. Padahal dua bulan terakhir aku mendaki gunung Merapi dan gunung Lawu bersama Mas Ari dan teman-temannya dari kampus UNS … tapi tak sedikitpun merasa lelah seperti ini.