Tuhan di Persimpangan Jalan

Endang Hadiyanti
Chapter #5

New Story #Bab 4

Januariku berlalu dalam sepi. Tak ada perayaan ulang tahun. Tak ada ucapan dari Sebastian. Hanya lantunan lagu Happy Birthday yang dinyanyikan sangat merdu oleh Ben bersama iringan gitarnya di tanggal 11 malam yang ternyata menjadi penghibur hatiku pada hari-hari berikutnya. Aku pun mulai berusaha menerima keadaan. Tak lama lagi Sebastian ulang tahun. Aku pasti akan menghubunginya seperti biasa, di setiap tanggal 10 Februari jam 6 pagi, tepat di jam kelahirannya. Aku sudah menghemat belanja lumayan banyak untuk bisa membeli pulsa yang mencukupi agar bisa melakukan panggilan ke telepon rumahnya.

“Met ulang tahun, Ian.” Aku langsung mengucapkannya tanpa basa-basi. Kata “Halo” yang keluar dari mulutnya saat mengangkat telepon tadi masih terdengar bernada malas seperti orang yang baru bangun dari tidurnya. Sudah jelas dia tidak sedang menunggu telepon dariku.

“Oh, Amel. Makasih, apa kabarmu? Maaf, aku sibuk sekali sebulan belakangan karena pindah posisi di tempat kerja. Sekarang aku—"

“Aku paham.” Kupotong kalimatnya.

“Hah?”

“Aku paham bahwa kamu butuh waktu di sana tanpa aku. Aku akan hadiahkan kebebasan untuk kamu,” lanjutku kemudian.

“Ka … mu … bercanda ‘kan, Mel?”

“Jarak kita jauh sekali, Ian. Bisa bicara begini pun jarang jarang …. Jadi buat apa bercanda?” ucapku datar.

“Jadi? Masa kita putus lagi?” Nada suaranya mulai terdengar tantrum. Bisa kubayangkan ia pasti sedang mengacak-acak rambutnya saat ini.

Kami memang berhubungan cukup lama, tapi tidak selalu dalam keadaan pacaran. Kami sudah beberapa kali putus hubungan, termasuk saat aku gap year setahun di Bali setamat SMA dulu. Begitupun saat kelas 2 SMA dulu, usai aku melakukan perjalanan seminggu ke Tanjung Pinang. Ah, apa memang dia tipe orang yang tidak bisa berhubungan jarak jauh, ya?

Bye. Terima kasih sudah bersamaku sampai hari ini.” Aku mengakhiri panggilan telepon tanpa mempedulikan suaranya yang memanggil-manggil namaku berulang kali.

Rasanya ini sudah yang paling tepat. Aku akan membebaskannya lagi, sebagaimana aku yang juga ingin bebas dari bayang-bayangnya.

Kubuka pintu luar, lalu menjatuhkan pandangan pada Honda Supra hadiah dari mama dan papa untuk ulang tahunku bulan lalu. Kali ini aku bisa tersenyum lepas, bersyukur masih diberi perhatian seperti ini dari orang tuaku. Tak masalah jika motor itu harus digunakan berdua dengan Radit, yang jelas momentum pemberiannya adalah di saat aku ulang tahun. Sungguh konyol sekali sempat melupakan betapa berharganya aku di mata orang tuaku hanya karena tidak dihubungi oleh seseorang yang berstatus pacarku.

Sekarang semua cerita dengan Sebastian Gonzales sudah berakhir. Aku tidak akan menutup diri lagi dari segala hal yang bisa membawa kebahagiaan dan kedamaian untukku di tempat ini. Aku sudah memutuskan untuk hidup di masa kini dan tidak akan lagi terikat dengan masa lalu. Ya, dia yang mendesakku untuk menjadikannya hanya masa lalu. Aku sama sekali tidak salah apa-apa.

***

Tok tok tok … “Me!” Suara Ben mengejutkanku yang sedang menyajikan makan malam untuk mbah di ruang makan.

“Ngapain? Radit lagi pergi,” ucapku saat membuka pintu dan mendapati dia hanya sendirian berdiri di depan pintu.

“Iya, aku tahu dia pergi sama Deki ke angkringan dekat Pasar Legi. Kita susul, yok,” ajaknya.

“Kenapa kamu enggak sama Guntur aja?”

“Dia lagi pedekate sama Bulan, teman gereja kami juga. Aku enggak mau ganggu.”

Lihat selengkapnya