Ben ternyata konsisten menjemputku setiap hari, dari Senin hingga Jumat. Dia selalu datang sebelum Radit menghidupkan motornya. Entah mereka sudah janjian terlebih dahulu, entah memang hanya kebetulan. Yang jelas, aku jadinya berangkat dan pulang kampus selalu dengan Ben. Aku memang belum memberi jawaban tegas terkait Sebastian, tetapi juga tak menutup diri jika dia ingin diberi kesempatan mengantar-jemputku setiap hari. Yang penting tidak ada kata terlambat dalam kamusku.
Senin pagi ini semua menjadi berbeda. Aku mulai gelisah dan tak bisa berhenti bolak-balik di dekat pagar. Ben belum kelihatan, sementara Radit sudah berangkat lebih dulu sepuluh menit yang lalu. Bodoh sekali langsung percaya bahwa dia akan menjemputku dengan tepat waktu hari ini, sama seperti hari-hari yang lalu.
[Bisa bantu antar ke kampus, Mas?] Tanpa pikir panjang kukirim pesan singkat pada Mas Ari.
***
"Yuk,” sapa Mas Ari sembari membunyikan klakson. Dia terkadang tidur di kampus dan tidak pulang ke rumah. Jarak dari kampus UNS ke rumahku memang tidak terlalu jauh, tak sampai 10 menit berkendara dengan motor.
"Maaf merepotkan, Mas. Radit tadi sudah terlanjur berangkat duluan. Kalau Mel naik angkot, pasti terlambat sampai di kampus karena harus mengetem dulu di pasar Legi.” Aku menjelaskan saat duduk di belakangnya.
“Enggak apa-apa. Sekalian ada yang mau Mas bilang juga. Kawan-kawan ngajak kamu nanjak lagi, kata mereka naik gunung sama kamu itu seru. Kami ada rencana ke Merbabu pas libur semester nanti. Siapa tau jadwal libur kampusmu juga samaan,” ucapnya sembari berkendara dengan kecepatan sedang.
“Boleh aja, sih, Mas, kalau waktunya pas. Tapi, bagusnya Mel penuhi dulu janji dengan Mbak Wid untuk nemenin dia jalan sebelum kita naik gunung lagi. Daripada nanti dicemberutin karena merasa Mel selalu mendahulukan Mas,” jawabku sekenanya.
“Eh, bukannya itu temanmu yang sering ke rumah?” Mas Ari menunjuk pengendara motor yang berlawanan arah dengan kami.
Ben dengan motor CB-nya yang nyentrik itu memang mudah sekali untuk ditandai. Terlihat jelas lelaki yang suka mengenakan jaket jeans itu sedang berkendara dengan kecepatan tinggi, menuju ke rumahku. Ternyata … motornya sudah sehat lagi, tapi hal itu malah membuatnya jadi tidak tepat waktu. Menyebalkan!
“Iya. Biar aja, Mas. Salah dia terlambat lebih dari lima belas menit. Kalau dia mau datang terlambat ke kampus, ya, silakan saja, tapi kalau Amel … enggak akan mau ikut terlambat!”
“Wah, wah. Ternyata begitu ceritanya. Jadi, apa besok mau Mas antar lagi?”
“Enggak lah, Mas. Mel bisa berangkat dengan Radit saja.”
“Oh, oke deh. Tapi kalau kamu butuh bantuan lagi seperti pagi ini, jangan sungkan, ya. Kebetulan akhir-akhir ini Mas lebih sering tidur di kampus daripada di rumah karena terlalu banyak kerjaan yang kadang harus disiapkan sampai larut malam.”
"Iya, Mas. Makasih banyak,” ucapku tulus.
***
“Me, tunggu ….” Ben mengejarku yang sengaja langsung keluar dari kelas saat sesi terakhir kuliah selesai.
“Namaku Amel, bukan Me,” sahutku ketus sembari membalik badan.
“Pulang sama aku, ya. Maaf, aku enggak bisa ontime tadi.”
“Aku mau pulang sama Radit. Kalau dia enggak mau antar aku pulang, aku akan hubungi Mas Ari!”
Radit dan Deki yang baru saja menyusul di belakang Ben mematung seketika. Tangan Deki sedang merangkul bahu Radit yang menunjukkan tanda-tanda mereka tak akan bisa dipisahkan dalam waktu dekat. Deki pasti sudah berharap ikut pulang bersama kami ke rumah, nebeng di motornya Radit. Entah sejak kapan, rumahku tiba-tiba saja sudah menjadi homebase anak-anak lelaki ini setiap pulang kuliah.