Tuhan di Persimpangan Jalan

Endang Hadiyanti
Chapter #7

Ternyata, Kamu Secemerlang Itu #Bab 6

Aku sedang sibuk mempersiapkan diri untuk ujian semester saat Ben datang lebih cepat dari biasa di malam Minggu ini.

“Me, temankan aku, yuk,” ajaknya tanpa turun dari motor.

Aku dan Raditya yang sedang duduk di antara buku yang berserakan di teras saling beradu pandang. Adikku itu menggerakkan sedikit kepalanya, memberi kode agar aku ikut saja dengan Ben, “mana tau memang penting, Mbak,” bisiknya.

Aku meraih helm dan bergegas naik ke boncengan sembari bertanya, “Mau ke mana?”

“Temani aku malam ini, untuk persiapan besok jam 10 di Solo Grand Mall,” jawabnya sembari melajukan motor cukup kencang. “Aku udah buru-buru pulang dari gereja, nih,” lanjutnya lagi.

“Lah, kenapa enggak sama Guntur aja?”

“Aku ‘kan udah pernah bilang kalau dia lagi pedekate sama Bulan. Kamu pikir aku bercanda?”

Aku diam tak berkomentar, sepertinya memang belakangan ini Guntur sudah jarang menemani Ben mampir ke rumah.

***

Motor kami berhenti di sebuah tempat rental band yang cukup ramai. Beberapa lelaki di sana berpenampilan seperti anak punk dengan rambut yang berdiri di tengah seperti duri landak. Beberapa di antara mereka juga bertindik di mana-mana, ada yang di cuping telinga, telinga bagian atas, hidung, dan bahkan tepi bibir.

Aku bergidik sesaat, tapi langsung merasa tenang saat Ben menyampirkan jaket jeans-nya di bahuku. Rasanya seperti sudah berada di bawah perlindungannya.

Tanpa melihat kiri-kanan lagi, aku mengikuti langkah kaki Ben. Kami memasuki ruangan kedap suara yang sudah di isi personil band lainnya. Satu per satu dari mereka memperkenalkan diri dan bergantian berjabat tangan denganku. Aku yang mulai hilang kikuknya karena sudah berada di tempat yang familier-setidaknya dulu waktu SMA juga sudah biasa nge-jam-jadi lebih leluasa untuk berkenalan dan berbincang dengan teman-teman Ben yang hanya lima orang ini.

Kudengarkan mereka membawa dua lagu yang diulang beberapa kali. Sepertinya besok akan tampil dengan membawakan kedua lagu tersebut. Sesekali Ben melirik ke arahku dan kutanggapi dengan senyuman ringan. Selama ini aku memang sudah terbiasa menikmati suara lelaki eksentrik itu walau hanya dengan iringan gitar saja di rumah. Ternyata ... ketika mendengarnya diiringi band lengkap jadi jauh lebih menarik dan menghibur hati. Meski aku tak familier dengan dua lagu yang dinyanyikan mereka, tapi setelah lebih dari dua kali mendengar, rasanya aku sudah bisa tak hanya menikmati, tetapi juga sekaligus menghapalnya.

“Gimana, Me? Bagian mana yang kurang bagus?” tanya Ben saat kami sudah merampungkan sesi latihan satu jam dan kini duduk di ruang tunggu.

“Bagus semua, kok. Bersih,” jawabku tanpa ragu.

“Loh, kamu anak band juga, kah?” Ardi yang didaulat pada posisi Bass berkomentar takjub atas reaksiku.

Aku senyum-senyum saja sembari berusaha menyamankan diri dengan menjauhkan pandangan dari beberapa anak punk, yang sebagian dari mereka kini sudah berada di dalam ruang kedap suara untuk berlatih. Beruntung teman-temen Ben tidak berdandan seperti mereka, orang-orang ini terlihat jauh lebih normal. Aku jadi tak punya perasaan khawatir berada di antara mereka.

“Aku enggak tahu lagu siapa yang kalian nyanyikan tadi. Aku dan teman-teman SMA dulu lebih familier dengan lagu Padi, Dewa, dan Cokelat,” komentarku akhirnya karena melihat Ardi menunggu jawaban tanpa memalingkan wajah sedikitpun dariku.

“Nih!” Ben memberikan sebuah gitar, seolah ingin aku membuktikan ucapan barusan di depan teman-temannya. 

Aku yang tak bisa menahan diri jika sudah ditantang seperti itu, akhirnya memainkan intro lagu Cokelat yang berjudul Luka Lama.

“Wuih! Memang ngeri si Ben ini, ya …. Enggak pernah bawa perempuan ke sini, sekalinya bawa, bukan sembarang perempuan.” Ardi menggeleng-gelengkan kepala sembari melirik anggota band lainnya bergantian.

“Yang kami bawa tadi lagu Pas Band, judulnya Anak Kali Sekarang, satunya lagi lagu dari Yamaha, sponsor acara besok.” Ben menjelaskan.

Lihat selengkapnya