Psy Band menghebohkan panggung dengan lagu Impresi dan Regulasi milik Pas Band. Sepertinya mereka memang berkiblat penuh pada band beraliran punk rock itu. Ben begitu totalitas di atas panggung hingga berkali-kali mengentakkan kaki dan ber-fogo ria seiring dentuman drum dalam ritme cepat. Gerakannya tersebut diikuti oleh sejumlah penonton yang memenuhi barisan depan hingga tengah lapangan. Di mataku, tenaganya seperti tak ada habisnya di atas panggung sana. Sungguh tak masuk diakal, bagaimana bisa dia mengaku-ngaku enggak akan kuat jika harus ikut aku mendaki gunung?
Aku yang menonton dari tepi panggung bisa melihat dengan jelas aura bintang mereka bersinar terang. Penampilan ini jauh berbeda dengan band-band sebelumnya yang kebanyakan membawa lagu mellow atau pop alternatif. Baru kali ini pula aku melihat festival band yang tidak mengharuskan satu lagu wajib bagi pesertanya, jadi hampir tidak ada penampilan dengan lagu yang sama. Seingatku, saat beberapa kali mengikuti festival band di Padang dulu, dari dua lagu yang dibawakan, salah satunya harus memilih dari daftar lagu wajib yang disediakan panitia. Sepertinya benar kata pepatah, "Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya."
“Aku mau ke gereja dulu. Kamu ... aku antar pulang atau mau nunggu di sini? Pengumumannya malam, nih,” tanya Ben saat mengambil handuk yang kuberikan padanya. Sekujur tubuhnya sudah dipenuhi keringat hingga baju kaos putihnya pun menjadi tidak layak dipakai lagi. Untung saja tadi aku tak banyak tanya ketika dia bilang ingin pinjam handuk saat menjemputku di rumah.
“Di sini juga enggak apa-apa. Mas Ari 'kan kerja di kampus ini, aku bisa mampir ke ruangannya aja kalau bosan. Aku juga pengen tahu, kalian juara berapa kali ini.”
“Oh, iya, ya, sepupumu itu ‘kan lebih sering tinggal di kampus dari pada rumahnya. Bagus, deh, kalau begitu sehabis ganti baju aku langsung jalan sama Guntur, ya.” Ia lanjut bicara sembari melambaikan tangan pada sahabatnya yang berdiri cukup jauh dan terlihat sedang bercengkerama dengan personil band lain.
Guntur berjalan mendekati kami bersama seorang temannya yang berperawakan tinggi, dengan hidung bangir dan rambut lurus belah tepi. Kupikir Ben akan berbincang sebentar dengan orang itu, tapi ternyata tidak, dia mengambil langkah menjauh lebih dulu hingga harus disusul setengah berlari oleh Guntur.
“Wah, wah, ternyata dia masih marah,” gumam lelaki teman Guntur yang kini berdiri tak jauh dariku.
“Kenapa Ben harus marah sama kamu?” Aku tak bisa menyembunyikan rasa penasaran, meski tidak mengenal orang ini.
“Kamu lihat saja nanti saat band kami tampil. Eh, kita belum kenalan … panggil aku Dj.” Ia mengulurkan tangan sembari tersenyum manis.
“Amelia, panggil Amel aja.” Aku menyambut tangannya. “Bukannya DJ itu profesi?” tanyaku kemudian.
“Alfian Djuanda. Dj itu nama panggung. Keren, ‘kan?” Dia mengedipkan sebelah matanya.
Aku nyengir melihatnya sok asyik seperti itu. Bisa kutebak, dia pasti tipe cowok yang suka mempermainkan perasaan perempuan.
“Baru kali ini Ben ditemani cewek. Apa rumah kamu dekat sini?”
“Enggak begitu jauh, di dekat SMA 5,” jawabku polos.
“Oh, sip, deh. Rumah aku juga dekat, kapan-kapan aku mampir, ya ….” Dia melambaikan tangan sembari berjalan meninggalkanku. Ternyata di belakangku sudah merapat Ardi dan personil Psy Band lainnya. Ada beberapa perempuan juga, pacar-pacarnya mereka. Mereka mengajakku mencari spot duduk yang nyaman, tapi tak begitu jauh dari panggung.
Lelaki muda berkulit cokelat dengan badan atletis yang tadi minta dipanggil Dj itu ternyata memang tidak sembarangan bicara. Penampilannya sukses membuatku tidak memalingkan pandangan barang sedetikpun. Dia membawa lagu Regulasi dengan nuansa yang jauh berbeda dengan Ben tadi. Topeng yang digunakannya selama di panggung, menambah sensasi yang berhasil membuat bulu kudukku berdiri. Dugaanku bahwa dia akan “menjual” wajah gantengnya di atas panggung itu sirna seketika. Lagu keduanya, Nakal milik Gigi, dibawakan dengan gaya panggung yang berbeda lagi, tanpa topeng, tetapi menggunakan topi yang menutupi sebagian wajahnya. Sepertinya aku mulai paham kenapa Ben tidak ramah pada lelaki yang satu ini.
***
“Mbak, ada tamu.” Radit berdiri di depan pintu kamarku.
Aku yang tadinya sedang membaca buku di meja belajar terpaksa sedikit mendorong mundur kursi dan menoleh kepadanya. Samar memang terdengar suara lelaki mengucapkan “Assalamualaikum” usai mengetok pintu depan, tetapi aku tak familier dengan suaranya. Sungguh tak kuduga ternyata orang itu mencariku.
“Siapa?” tanyaku sembari melepas kacamata baca. Aku memang biasa menghabiskan waktu di rumah saja untuk membaca, namun tak ingin ada masalah dengan mataku di kemudian hari. Kacamata baca dengan frame ungu metalik ini sudah cukup lama menjadi teman terbaikku, termasuk dalam mengisi malam minggu selama ini.
“Fans baru, mungkin.” Radit mengangkat bahunya lalu meninggalkanku. Ia berjalan menuju ke kamar yang pintunya bersebelahan dengan pintu utama rumah ini.
“Hai,” sapa Dj dengan lambaian tangan di kursi teras saat aku menampakkan diri di pintu depan. “Masih ingat aku 'kan?” lanjutnya saat melihatku duduk di kursi sebelahnya dengan kaku.
Bagaimana bisa dia benar-benar datang ke rumah ini? Sendirian pula!