Teras rumahku pagi ini riuh dengan kedatangan teman-teman kami yang akan ikut serta dalam touring tiga motor. Mbak Wid juga datang, dia setuju menemani mbah selama kami tidak di rumah tiga hari ke depan. Dia benar-benar perempuan ideal yang penyayang dan baik hati. Aku masih tak habis pikir kenapa bisa ada lelaki bodoh yang meninggalkan dia begitu saja hanya demi mengincar posisi Kepala Desa.
“Kami pergi dulu, ya, Mbah, Mbak.” Pamitku dan Radit sembari bergantian mencium tangan mereka.
“Hati-hati di jalan,” pesan Mbak Widuri sembari melambaikan tangan. Dia terlihat biasa saja dan tidak bertanya kenapa aku dibonceng oleh Ben, bukan Radit. Sepertinya semua orang di sekitar kami juga sudah biasa saja melihat kedekatan di antara kami. Tapi ... sejujurnya aku masih tak habis pikir, apa benar kami sudah dekat? Dekat seperti apa? Toh, kami tidak pacaran. Ah, entahlah! Entah aku perlu memikirkan hal ini entah tidak … toh, aku tak mungkin bersamanya dengan perbedaan keyakinan yang sangat nyata ini.
Kami memulai perjalanan dengan riang. Ben membebaskanku bernyanyi sepanjang jalan. Dia sudah berjanji untuk tidak mengomentari sekalipun mungkin ada yang terdengar fals di telinganya. Tiga motor kami yang berisi total enam orang-aku satu-satunya perempuan-melaju dengan kecepatan yang stabil di jalan raya. Tidak terlalu cepat, tidak pula terlalu lambat. Satu sama lain saling memperhatikan melalui kaca spion untuk memastikan tidak ada yang tertinggal jauh. Aku termasuk yang berperan untuk mengingatkan karena posisi motor kami paling depan. Dengan demikian, Ben bisa fokus memandang ke depan saja dan memimpin perjalanan. Sesekali, aku melemparkan pandangan pada bagian kiri dan kanan jalan yang memperlihatkan perbukitan rendah dan hamparan padi yang menghijau. Lumayan, aku jadi bisa menghirup udara segar dari alam yang selalu kurindukan.
***
“Selamat datang, Bro, Bro! Sampai juga akhirnya ….” Abdi menyambut kami di depan rumahnya. Perjalanan yang tidak dihambat macet sama sekali membuat kami sampai di Sragen dalam waktu kurang dari satu jam dan dengan mudah menemukan rumah salah satu teman kami ini.
“Kita sarapan dulu, ya. Nanti baru lanjut ke rumah Irma untuk makan siang. Dia udah siap-siap, tuh.” Abdi membawa kami masuk ke dalam rumahnya yang cukup luas, dan memperkenalkan kami pada satu per satu anggota keluarganya yang kebetulan berada di rumah, termasuk Sang Ibu yang menjadi tuan rumah.
Sebagai satu-satunya perempuan, aku maklum jika Ibu Abdi memilih berbincang denganku dibandingkan teman lainnya. Tapi … kendala utama komunikasiku dalam bahasa Jawa-apalagi versi Alus -masih belum tertangani walau sudah setengah tahun berada di Solo. Beruntung ... Ben selalu siap sedia di sebelahku. Dia menjawab sejumlah pertanyaan dengan pembawaannya yang ramah, seperti biasa. Beberapa lainnya diterjemahkan untukku, hingga akhirnya Sang Ibu mengerti bahwa aku hanya bisa berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia saja. Sebenarnya aku bukan tak mengerti sama sekali, tetapi aku takut menjawab dengan Jawa Kasar dan mungkin tak sengaja menggunakan bahasa yang tidak pantas untuk disampaikan kepada orang yang lebih tua. Hal itu pernah terjadi sebelumnya, dan aku tidak mau terjadi lagi.
***
Kami melanjutkan perjalanan ke rumah Irma untuk memenuhi undangan makan siang dan memanen buah matoa di depan rumahnya. Kali ini rombongan bertambah menjadi empat motor. Abdi sendirian di motornya saat menuju rumah Irma yang hanya berjarak lima menit berkendara. Beruntung, Irma juga tertarik untuk ikut serta dalam touring kami sehingga Abdi sudah punya teman di atas motornya saat kami melanjutkan perjalanan ke kebun durian Anita di sore hari.
Aku menangkap perubahan ekspresi yang tak biasa di wajah Radit saat kami memasuki rumah Anita, wanita tercantik di angkatan kami. Kulit putih bersih Anita membuat bibir tipisnya yang berwarna merah muda menjadi sangat menarik perhatian. Belum lagi dihiasi dengan rambut ikal mayang yang selalu dibiarkannya tergerai indah dengan sedikit poni di dahi. Radit-adikku-yang biasanya heboh dan selalu tampil percaya diri sejak diangkat menjadi ketua angkatan, tiba-tiba jadi menciut di balik bahu Deki, sohib sejatinya selama kami tinggal di Solo ini.
“Radit kenapa, ya?” Aku menahan langkah dan menyentuh ujung jaket Ben saat rombongan kami berhamburan memasuki kebun durian di belakang rumah Anita.
“Kamu ini benar-benar enggak sensitif, ya. Adikmu itu sudah lama naksir Anita, begitu juga Ridwan. Ridwan langsung mundur karena sadar enggak akan bisa bersaing dengan Radit. Lucunya, Radit malah enggak ambil langkah sama sekali. Jadi ... sekarang mereka berdua punya kesepakatan, jika Radit enggak ngomong apa-apa ke Anita hari ini, Ridwan yang akan maju. Eh!” Ben tiba-tiba terkejut saat menjatuhkan pandangan ke Ridwan. Teman kami yang terlihat paling bersemangat hari ini, tiba-tiba saja harus menghentikan langkah karena sebuah durian besar jatuh tepat di depannya.
Kami semua spontan berlari ke arahnya. Air mukanya memucat. Dia pasti panik membayangkan apa yang akan terjadi seandainya dia lebih cepat beberapa detik … pasti durian itu jatuh tepat di atas kepalanya.
Seakan tak peduli dengan suasana hati kawan, sebuah durian montong berukuran sangat besar langsung mengalihkan perhatian kami dari Ridwan yang sibuk mengusap-usap dadanya. Dengan canda dan tawa yang sahut-sahutan, kami berebutan membuka durian tersebut dan mencicipi isinya. Di ujung pandangan, kulihat Ben tertawa cekikikan juga, tapi tak menjauhkan diri dari Ridwan. Dia memeluk Ridwan dari samping seolah ingin menenangkan temannya itu. Tak lama, wajah Ridwan kembali dialiri darah dan dia pun ikut menikmati buah durian di tepi sungai yang airnya mengalir merdu. Sungguh asri sekali daerah tempat tinggal Anita ini.
“Eh, kamu enggak nyicip?” Aku baru sadar jika sedari tadi Anita tidak menyentuh durian itu.