Tuhan di Persimpangan Jalan

Endang Hadiyanti
Chapter #10

Pendamping? #Bab 9

Tak kuduga mulai hari Senin ini Anita benar-benar tidak masuk kuliah lagi. Usia kandungan yang ternyata sudah memasuki lima bulan, membuatnya serba salah hendak melanjutkan perkuliahan. Apalagi bulan depan kami sudah mulai magang, dan akan ditempatkan di Rumah Sakit dan Apotek yang bekerja sama dengan kampus. Tentu akan sulit baginya belajar bekerja dalam keadaan hamil begitu.

Berita kehamilan di luar nikah-nya Anita benar-benar mengejutkanku. Pantas saja malam saat di Pati itu Ridwan terlihat menangis di sebelah Radit. Ternyata mereka berdua sedang benar-benar patah hati. Gadis manis yang begitu pemalu dan pendiam di kampus itu ternyata menyimpan rahasia besar yang membuatnya tidak bisa berada di antara kami lagi saat ini, begitupun pada hari-hari berikutnya.

“Ke rumahku sebentar, yuk,” ajak Ben saat kami berkumpul di parkiran motor sepulang kuliah.

“Aku capek banget ..., nyesel kemarin ikut Mbak Amel dan Mas Ari ke Gunung Lawu,” jawab Radit ogah-ogahan. Dia memang setengah kupaksa bangun untuk berangkat kuliah tadi pagi. Kami menghabiskan sisa-sisa liburan di hari Sabtu dan Minggu untuk mendaki ke Gunung Lawu. Ini pendakian pertama untuk Radit, jadi pasti terasa berat sekali karena letih dari touring sebelumnya juga masih ada. Salahnya sendiri yang nekat ikut hanya karena katanya enggak mau kalah dariku. Walaupun aku tahu, sebenarnya dia hanya ingin menghilangkan kesedihan atas berita Anita.

  “Justru karena tahu kamu capek, jadi aku tawari perbaikan gizi di rumah sambil istirahat. Gantian, aku yang jadi tuan rumah kali ini. Kebetulan mami ada acara di sekolah dan makanannya kelebihan banyak, sekarang udah dioper ke rumah. Butuh kalian untuk menghabiskan.” Ben menyelesaikan ucapannya sembari bergantian melirik padaku dan Radit. Menyebalkan sebenarnya, tapi, ya, mau bagaimana lagi, porsi makan kami berdua memang jauh berbeda dengan teman lainnya.

“Yuk, biar aku yang bawa motornya.” Deki mengambil kunci motor dari tangan Radit

***

Ini pertama kalinya aku mengunjungi rumah Ben yang notabene kedua orang tuanya adalah pemuka agama. Jelas ada sedikit rasa ragu saat melangkahkan kaki memasuki rumah tanpa mengucapkan “Assalamualaikum” seperti biasa. Beruntung rumah tersebut dalam keadaan kosong, jadi aku tak begitu canggung saat berada di ruang tamu mereka yang dilengkapi sebuah piano besar.

“Santai saja sambil nunggu anak-anak.” Ben tak ambil pusing dengan teman-teman kami yang lain, yang belum juga sampai di rumah ini. Dia mengambil posisi di depan piano lalu membuka penutupnya.

Aku masih berdiri dan memilih untuk berjalan dari satu sudut ruang tamu ke sudut lainnya. Dalam kebingunganku hendak duduk di sebelah mana, aku mulai terpesona pada lemari buku berpintu kaca yang menjadi pembatas ruangan dengan sejumlah buku berukuran besar yang tersusun rapi di dalamnya.

“Tahu enggak bahwa aku ini anak Tuhan?” ujar Ben saat melodi klasik Canon sudah mendekati akhir di pianonya. Aku memutar kepala, melihat ke arahnya. Harus kuakui bahwa dia memang berbakat dan serba bisa urusan musik-seorang vokalis band yang jago bermain gitar dan kibor, serta cukup mumpuni menggebuk drum.

“Aku juga anak Tuhan,” celetukku begitu saja. Aku sudah selesai menelusuri seluruh buku yang ada di lemari dan mendapati semuanya berkaitan dengan agama mereka, Kristen Protestan. Tak ada satu pun buku bersifat umum yang bisa kubaca, hingga kuputuskan untuk berjalan menuju tempat duduk yang letaknya tak jauh dari piano.

“Ha…ha…ha….” Tak kuduga tawanya terlepas hingga jemarinya berhenti bermain di atas tuts hitam dan putih itu. Ia berdiri perlahan dan kini berhadapan cukup dekat denganku. Aku nyaris mundur karena terkejut.

Sial, kenapa kawan-kawan yang lain itu lama sekali! Batinku sambari mencuri pandang ke arah pintu. Tadinya kami konvoi 3 motor, bagaimana bisa dua motor lagi butuh waktu cukup lama untuk menyusul kami ke sini, padahal tadi alasannya cuma berhenti sebentar untuk membeli rokok.

“Aku serius. Namaku itu diambil dari bahasa Ibrani. Amiel itu berarti orang pilihan Tuhan, Benedict itu artinya yang diberkahi dan diberkati, sementara Antonius itu yang berbahagia. Jadi … aku ini anak laki-laki pilihan Tuhan yang diberkahi kebahagiaan. Kamu juga ngerasain, kan? Bahwa aku bisa menghadirkan kebahagiaan?” ucapnya sembari membungkuk dan mendekatkan wajahnya pada wajahku.

“A … aku percaya!” sahutku sembari mundur dua langkah. Aku butuh sedikit ruang untuk bernapas normal usai kesulitan meredakan detak jantung yang tiba-tiba menjadi tak beraturan saat ini.

Beruntung langkah yang kuambil ternyata bertepatan dengan datangnya Radit dan teman lainnya. Suasana pun mencair dan kami menuntaskan misi menghabiskan makanan di kamar Ben yang terletak di lantai dua. Pantas saja dia begitu santai meninggalkan satu gitar di rumahku, ternyata di dalam kamarnya masih ada empat gitar yang lain.

***

Dugaan bahwa aku akan bisa beristirahat tanpa menerima tamu di hari Selasa malam ternyata salah. Dj datang lagi.

“Kamu memang mau ngobrol sama aku, ‘kan? Kalau begitu biarkan aku buat teh dulu, ya.” Aku menyambutnya tanpa rasa terkejut. Taruhanku dan Ben kemarin ternyata dimenangkan oleh Ben. Dj benar-benar datang di hari Ben tidak bisa ke rumahku.

“Oh. Iya ….” Sepertinya ia tak menduga akan disambut seperti itu. Tiba-tiba saja ekspresi nakalnya hilang, berubah menjadi sorot mata seorang anak laki-laki yang hanya ingin berteman dengan orang lain.

Lihat selengkapnya