Tuhan di Persimpangan Jalan

Endang Hadiyanti
Chapter #11

Pendamping? (2) #Bab 10

Aku masih tertegun di depan lemari pakaian yang terbuka lebar, saat mendengar klakson motor Ben berbunyi dua kali di luar rumah. Meski minggu lalu sudah diperkenalkannya secara resmi kepada mami dan papi, namun aku tak menyangka akan secepat ini dilibatkan dalam acara keluarganya.

“Masih belum, Mbak? Ditungguin Ben, loh, itu ….” Radit kini berdiri di depan pintu kamarku sembari bersedekap. Mungkin dia bingung juga, aku yang biasanya cekatan, saat ini terlihat seperti orang bingung yang bahkan tidak tahu harus mengenakan busana seperti apa.

Aku menghela napas panjang. Tak mungkin kupakai lagi pakaian yang sama dengan yang kugunakan minggu lalu setelah mendengar maminya Ben tidak pernah menggunakan pakaian yang sama hingga setidaknya dua bulan berlalu.

Ah, apa-apaan ini. Kenapa aku harus sebegitunya memperhatikan pandangan orang lain padaku? Bukankah biasanya cuek aja? Akhirnya kutarik keluar setelan casual yang menjadi andalanku setiap kali pergi jalan ke luar rumah.

“Me ….” Ben ternyata tak sabar menunggu di luar dan dengan cepat masuk ke dalam kamarku. “Jangan yang ini. Maaf, ya, aku terpaksa lihat isi lemarimu.” Ia menghentikan pergerakanku. Dilemparnya setelan yang tadi kupilih ke atas kasur, lalu dengan gesit menelusuri isi lemariku untuk memilah pakaian lainnya.

Sepotong baju dan rok panjang yang bernuansa jauh lebih feminim diserahkannya dengan cepat ke atas tanganku. Sepertinya itu pakaian Mbak Wid yang masih tertinggal di lemari ini, karena aku sendiri tidak familier dengan pakaian tersebut.

“Maaf, aku enggak punya banyak waktu. Ini pesta ulang tahun pernikahan mami dan papi. Akan ada banyak sekali tamu dan kita harus stand by di rumah sebelum tamu pertama datang. Jadi tolong … ikuti aja, ya,” pintanya sembari keluar dari kamarku dan menutup pintu dari luar.

Aku keluar kamar dengan kikuk karena tidak terbiasa mengenakan rok panjang dan setelan atas berkerah shanghai. Tapi, sinar mata Ben yang berbinar membuatku cukup tahu bahwa aku pantas mengenakan pakaian ini.

“Lain kali aku jemput pakai mobil, deh, kalau kamu seperti ini,” bisiknya saat menghampiriku. “Nanti buruan nyusul, yo!” Ia lanjut berbicara pada Radit, Deki, dan beberapa teman lain yang sedang duduk santai di ruang tamu kami. Mereka juga diundang, tetapi diminta datang nanti malam sekitar jam delapan saja. Sementara aku, sudah diminta mendampinginya dari sebelum Magrib tiba. Untung saja saat ini aku sedang berhalangan, jadi tidak perlu pusing memikirkan bagaimana salat Magrib nantinya di sana.

“Yo! Hati-hati bawa mbak kami!” ucap mereka nyaris serentak, yang disambut dengan tawa renyah Ben.

***

Kupikir penampilanku sudah cukup memadai untuk menjadi bagian dari tuan rumah-seperti yang diinginkan Ben-tapi ternyata tidak. Adik angkat perempuan Ben-yang memperkenalkan dirinya sebagai Sarah-dengan cekatan membawaku ke kamarnya dan mengaplikasikan beberapa riasan ringan. “Walau hanya sedikit, tapi riasan ini bisa membantu wajah kita terlihat segar, Mbak,” ucapnya saat memoleskan lisptik merah muda di bibir tipisku.

“Makasih Sarah, Maaf … aku hampir tidak pernah dandan,” ucapku saat mengedip-ngedipkan mata terlalu cepat dan melihat reaksi terkejut dari perempuan muda berusia tak jauh berbeda denganku itu.

“Haha …, enggak apa-apa. Buat yang baru belajar pakai maskara memang rasanya agak kurang nyaman. Nanti setelah dua atau tiga kali coba, akan terbiasa juga, kok, Mbak.” Dia tersenyum manis sembari mengoreksi beberapa bekas hitam di bagian bawah mataku dengan cotton buds, kemudian mengaplikasikan kembali bedak padat dengan sangat hati-hati di bagian tersebut.

Kami berdua keluar dari kamar bertepatan dengan datangnya makanan yang dipesan melalui catering. Mau tidak mau aku pun langsung terlibat dengan penataan makanan di atas meja saji. Di saat bersamaan, aku diingatkan Sarah bahwa ada jenis makanan yang tidak halal seperti rica-rica anjing dan tumis daging babi. Aku jadi bisa langsung menandai mana piring yang tak boleh kusentuh.

Cukup lama aku tak mengetahui keberadaan Ben di rumah besar ini ... hingga akhirnya terdengar dentingan piano yang mengalun merdu. Lelaki yang nyaris setiap hari berada di sisiku itu kini menjadi sorotan utama saat memainkan grand piano dengan sosok mami dan papi berdiri di belakangnya.

Suara empuk pewara pria terdengar di sela-sela musik yang dimainkan Ben, dan aku pun mengikuti setiap runtut kegiatannya-sebagaimana tamu undangan yang lain-hingga akhirnya terhenti pada satu momentum.

Lihat selengkapnya