“Mbak, mau aku bantu ngomong sama mama dan papa?” Radit tiba-tiba membuka pembicaraan saat Ben sudah pulang bersama Deki. Sepertinya memang mustahil menyembunyikan kedekatan di antara aku dan Ben. Apalagi sekarang kami sudah mulai magang dan Ben dengan beraninya mengajukan permohonan penempatan di satu lokasi denganku. Sudah sangat jelas hubunganku dan Ben bukan lagi seperti teman biasa.
“Silakan aja, walau sebenarnya Mbak lebih suka semua mengalir begitu aja.” Aku menyandarkan punggung pada sofa tamu dan mulai memetik gitar.
“Walaupun beda keyakinan, tapi dia baik banget orangnya. Dit bisa ngerti kenapa Mbak pada akhirnya memilih dekat dengan Ben.”
“Ya,” jawabku begitu saja.
“Tapi, Mbak, nanti jadinya siapa ikut siapa, ya?” Radit yang tadinya sudah membalik badan hendak meninggalkanku, terlihat ragu dan kini kembali berhadapan denganku.
Aku menghentikan melodi Kangen milik Dewa hanya untuk menghujamkan tatapan tajam pada Radit. Beraninya dia berpikir sejauh itu, sedangkan aku saja tak pernah sanggup berpikir ke sana.
“Ah, aku udah ngantuk. Bye!” Adikku itu membuang pandangan dan bergegas melangkah memasuki kamarnya. Sepertinya dia sadar sudah salah bicara.
Aku menghela napas panjang sebelum melanjutkan permainan gitar. Padahal, aku tahu pasti tidak ada yang salah dengan pertanyaannya. Bukankah cepat atau lambat itu akan menjadi suatu hal yang harus kami temukan jawabannya?
***
“Wah, sudah ada kemajuan.” Wajah Ben semringah saat melihatku keluar dari pintu rumah. Kami akan menghadiri acara di rumah omnya malam ini. Katanya … si om ini baru pindah rumah dan baru naik pangkat di kantor, jadi akan merayakan kedua hal tersebut di rumahnya yang baru. Belajar dari pengalaman, aku meminjam beberapa pakaian Mbak Wid yang berhasil membuatku terlihat lebih manis dan jauh dari kesan cuek. Belum lagi rambutku sudah bisa diikat setengahnya sehingga tidak terlihat monoton lagi seperti hari-hari sebelumnya.
Kami sampai di lokasi menjelang Magrib. Dan karena acara ini bertepatan sebulan setelah acara ulang tahun perkawinan mami dan papi, kebetulan sekali aku sedang berada dalam keadaan tidak salat lagi.
“Wah, ini pendampingnya Ben, ya?” Beberapa orang menyambutku dengan senyuman ramah dan sangat bersahabat. Beberapa di antara mereka terlihat memperhatikanku dengan saksama dari bagian paling atas hingga paling bawah, entah apa yang sedang mereka cari. Aku memang tidak mengenakan make-up, tapi setidaknya sudah menggunakan pewarna bibir merah jambu yang dihadiahkan Sarah untukku bulan lalu. Aku merasa cukup prima dari ujung rambut hingga ujung kaki pada malam ini, sehingga bisa tetap tersenyum dengan manis pada siapa pun tanpa peduli apa yang mereka ingin cari tahu dariku.
Ben benar-benar berada di sisiku sepanjang saat. Bahkan hingga akhirnya dia tak bisa mengelak saat dipanggil papi, tetap diraihnya jemari mungilku ini. “Ayo ikut, jangan pernah jauh-jauh dari aku,” pesannya sembari mempererat genggaman. Sepertinya dia tidak ingin aku merasa tak nyaman lagi seperti kejadian bulan lalu.
Kami berdua memasuki rumah yang di dalamnya sudah dipersiapkan kibor kecil di dekat pintu samping. Papi berdiri di sana dan memberi kode pada Ben untuk mengambil posisi. Beberapa tamu sudah duduk di lantai, bersandar pada dinding, termasuk juga mami. Wanita paruh baya yang masih terlihat muda dan cantik itu melambaikan tangan padaku, memberi kode agar aku duduk di sebelahnya. Aku menurut saja.
Tak lama, melodi indah mengalun dari jemari lentik Ben yang bermain di atas kibor. Papi menyampaikan sebuah kisah tentang Nabi Yusuf di sela-sela musik tersebut. Sesekali aku menelusuri ingatan tentang kisah Nabi Yusuf versi Islam yang ternyata ... meski sebagian besar serupa, tetapi ada perbedaan signifikan dan krusial. Aku tentu tak berani bersuara, terlebih lagi mami beberapa kali mencuri pandang padaku, yang hanya kurespon dengan senyuman kecil. Akhir dari kisah tersebut ternyata berujung pada nyanyian puji-pujian yang dilantunkan oleh hampir semua orang di dalam ruangan ini.