Aku sedang berzikir sesudah salat Magrib saat mendengar suara Ben memasuki rumah. Sejak kejadian di pesta om-nya Ben, aku memang tak pernah lagi melewatkan zikir sesudah salat wajib, bahkan dalam keadaan sedang berhalangan pun tetap kulantunkan kalimat tasbih, takbir, dan tahmid setiap kali teringat. Ada sebentuk perasaan yang tertinggal usai berzikir sendirian di antara banyak manusia yang melakukan kegiatan lain pada malam itu, dan hal itu membuatku begitu lekat dengan aktivitas ini hingga hari-hari berikutnya.
“Me!” Kudengar langkahnya terhenti di depan pintu kamar, yang berarti saat ini tepat berada di belakangku. Radit memang tidak ada di rumah-sedang dapat jadwal piket di RS-jadi wajar saja Ben langsung masuk ke dalam setelah menyapa Mbah Putri di ruang tamu.
Bisa kuduga dia sudah tak sabar ingin segera bertemu usai menuntaskan Retret-nya selama 3 hari belakangan. Tapi aku belum selesai. Aku masih menikmati sentuhan di tiap ruas jemari kanan sebagai pengganti tasbih untuk menghitung jumlah zikir yang terlantun dalam hati. Aku juga masih ingin melanjutkan bacaan ayat Kursi dan Al-Fatihah sebelum memulai doa. Biar saja dia menunggu dulu.
“Eh!” Aku terkejut saat melipat mukena dan mendapati Ben ternyata duduk bersandar pada pintu kamarku. Itu artinya sedari tadi dia menungguku hingga selesai salat. Kupikir dia hanya akan menunggu di luar, tidak pada jarak sedekat ini.
“Hai,” sapanya dengan senyuman khas Ben, lelaki yang semakin kupikirkan apa pentingnya berada di dekatku, justru terasa semakin kuinginkan.
“Bagaimana Retret-nya? Berhasil meningkatkan keimananmu sampai 100 persenkah?” godaku sembari menyampirkan mukena dan sajadah di kursi, lalu berjalan keluar dari kamar dengan melangkahi kakinya yang terjulur di lantai.
“Seru, tapi sayangnya enggak ada kamu.” Dia mengikuti langkahku tanpa banyak bertanya. Kami duduk di ruang tamu sembari menunggu pesanan makan malam untuk Mbah Putri datang. Hampir setiap malam mbah selalu memesan soto atau timlo pada bude yang tinggal di dalam pekarangan rumah kami. Hanya tinggal membawa pesanan tersebut ke meja makan lalu menambahkan sedikit nasi putih saja, maka urusanku dalam menyiapkan makan malam mbah akan selesai.
“Tumben kamu salatnya lama.” Dia memulai percakapan.
“Aku harus mengimbangi kamu, dong. Masa iya keimanan kamu nambah, tapi aku enggak.” Aku mengedipkan sebelah mata.
“Kamu enggak minta oleh-oleh?” selidiknya.
“Enggak. Kamu ‘kan pergi ibadah, bukan pergi jalan-jalan.”
Dia mengangguk-angguk sembari membentuk bibir menyerupai huruf O.
“Yang penting, kamu harus menepati janji ke Candi Cetho.” Aku menatap tajam ke dalam matanya.
“Eh, masih ingat aja. Hehe ….” Dia meraih gitar dan mulai memetiknya. “Minggu depan kita susun jadwal yang pas, ya, supaya bisa pergi main berdua.”