Tuhan di Persimpangan Jalan

Endang Hadiyanti
Chapter #14

Oh, No! #Bab 13

“Maaf banget aku mendadak off begini,” pamitku pada Deki yang baru saja datang ke Apotek untuk menggantikanku. Dia terpaksa mendapatkan dua jadwal piket berturut-turut karena gigiku sakit sekali hingga tak tertahankan lagi. Walau sudah diberi obat oleh Mbak Ina-Apoteker yang bertanggungjawab di apotek tempat kami magang ini-rasanya tidak akan efektif jika aku tetap memaksakan diri bekerja hari ini.

“Iya, Mbak. Enggak apa-apa. Semoga bisa lekas sembuh dan cepat tertangani sama dokter,” jawabnya sembari menyimpan jaket dan tas kecil di dalam loker, sementara aku mengambil barang-barangku dari loker sebelahnya.

Sek, yo, Cah. Aku cuma ngantar dia pulang aja, habis itu langsung balik ke sini. Kami ke dokternya nanti sore aja, setelah jadwal piket aku selesai.” Ben menepuk-nepuk pundak sahabat kami itu.

“Udah tahu mau ke dokter mana?” tanya Deki.

“Aku udah buat janji, kok. Ada dokter kenalan mami nggak jauh dari simpang empat Ngemplak itu.” Penjelasan Ben membuatku melirik ke arahnya. Sejujurnya aku belum tahu akan dibawa ke mana. Tapi sudahlah … yang penting aku bisa istirahat dulu di rumah, nanti sore baru ke dokter gigi untuk mengurus geraham yang sedang bermasalah ini.

***

Azan Zuhur membangunkanku dari tidur yang tidak nyenyak. Meski rasanya malas sekali, tetap kugerakkan tubuh ke kamar mandi untuk berwudu dan menyempatkan diri mengintip bagian dalam tudung saji. Sejak keteteran dengan jadwal magang, aku dan Radit memutuskan untuk catering dengan bude sebelah saja. Kami tidak pernah menentukan jenis masakan apa yang akan disajikan, sepenuhnya terserah bude dengan anggaran yang sudah kami sepakati bersama.

Semangkuk besar sayur asem dengan tempe dan tahu bacem ternyata tidak membangkitkan seleraku kali ini. Mungkin karena masih ada rasa tidak nyaman pada geraham, walaupun rasa sakitnya sudah jauh berkurang berkat obat yang kuminum tadi. Padahal biasanya aku akan langsung mengambil piring jika sudah melihat sayur favoritku itu di depan mata.

Berhubung tidak ada keinginan untuk makan sesuatu … aku memilih untuk memperpanjang salat dan zikir sebelum menutupnya dengan doa. Saat melipat sajadah, tiba-tiba saja hatiku tergerak untuk membuka Al-Qur’an beserta terjemahannya, yang sudah cukup lama tak kusentuh. Menyedihkan memang, aku cukup banyak menghabiskan waktu untuk membaca buku, tetapi hanya pada bulan Ramadhan baru rutin membuka Kitab Suci kami ini.

Perlahan aku menyamankan posisi di tempat duduk tanpa membuka mukena. Kuambil kacamata kesayangan, lalu membuka Al-Qur’an secara acak. Pandangan mataku tertumbuk pada Q.S. Az-Zukhruf ayat 4 yang berbunyi:

Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu dalam induk Al-Kitab (Lauhul Mahfudz) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah.

Jantungku tiba-tiba saja berdebar kencang.

Kubaca kembali ayat tersebut secara perlahan, hingga debaran ini perlahan mereda. Tak kuduga butuh lebih dari tiga kali membaca sepotong ayat tersebut untuk kemudian bernapas dengan normal kembali. Ada apa? Kenapa aku berdebar-debar cukup lama?

Kututup sejenak benda suci yang hanya boleh kusentuh dalam keadaan suci tersebut, seiring bunyi tubuh mbah yang berusaha duduk di kursi meja makan. Aku tak tega membiarkan mbah makan sendiri. Meski belum ada keinginan makan, tetap kupaksa juga memasukkan beberapa suapan ke dalam mulut sembari menemani mbah.

Ternyata pikiranku masih tidak tenang. Segera usai meletakkan piring di tempat cucian, aku kembali ke meja belajar dan membuka lagi Al-Qur’an secara acak. Kali ini terbuka ayat yang cukup familier, Q.S. Yaasiin ayat 12:

Sesungguhnya kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauhul Mahfudz).

Seolah sedang mencari sesuatu yang entah itu apa, aku kembali membalik halaman Al-Qur’an begitu saja, dan terhenti pada Q.S. Ar-Ra’d ayat 39:

Lihat selengkapnya