[Mbak, hari ini libur, ‘kan? Bisa temani aku di toko?] Pesan masuk dari Sarah membuat kebosananku pagi ini berlalu pergi seketika. Sesuai keinginan Ben, aku mengambil libur piket hanya pada Hari Minggu saja, jadi Minggu depan juga sudah pasti bisa menemaninya ikut festival band.
[Boleh. Tolong kirim alamatnya ya.] Aku membalas tanpa pikir panjang.
Tak butuh waktu lama untuk sampai di toko yang dimaksud Sarah. Perempuan cantik yang setelah tamat SMA itu tidak lagi melanjutkan kuliah karena membantu usaha mami, menyambutku dengan suka cita. Dengan penuh semangat dia memperkenalkanku pada perempuan lain yang berusia lebih tua, namanya Indri, yang saat ini sedang magang di rumahnya mami. Butuh waktu cukup lama untukku memahami bahwa “magang” yang dimaksud adalah mempelajari kehidupan mami sebagai pendeta agar ia siap menjadi pendeta setelah tamat pendidikan sarjana di jurusan Teologi (Ilmu Agama Kristen) nantinya.
Tadinya aku masih berusaha positif thinking menganggap Sarah butuh bantuan untuk ditemani. Dia sempat bilang bahwa pegawai mami yang lain sedang berhalangan masuk kerja hari ini. Tentu sulit untuknya meng-handle butik, kios pulsa, dan biro jasa penjualan tiket pesawat sekaligus tanpa bantuan orang lain. Tapi … semakin berlalunya waktu, aku semakin dihadapkan pada kenyataan bahwa sebetulnya Sarah tidak butuh bantuanku. Dia sangat cekatan dan bisa menyelesaikan semua urusan sendirian. Aku jadi lebih banyak menghabiskan waktu dengan Kak Indri di dalam butik sembari memasang payet pada pakaian yang sudah selesai dijahit.
“Jadi, enggak ada bedanya ‘kan, Tuhanmu dengan Tuhan kami? Tuhan kita sama-sama hanya satu,” tanya Kak Indri usai menjelaskan konsep Trinitas atau Tritunggal yang menjadi doktrin utama dalam ajaran agama Kristen.
Aku menghela napas cukup kuat. Aku sebetulnya tidak sedang ingin berdebat saat ini, tapi mau bagaimana lagi … sudah terlanjur berada di sini.
“Aku sangat mengerti yang Kakak jelaskan, tapi mungkin karena kita punya sudut pandang berbeda … jadinya aku enggak bisa bilang Tuhan kita sama. Yang aku bisa bilang hanyalah ... kita sama-sama ber-Tuhan.”
“Hm, ternyata benar kata Pendeta Magdalena. Kamu pandai sekali memilih kata.” Dia tiba-tiba terlihat lebih bersemangat.
“Wah, Kakak dapat bocoran apa dari mami?” Aku dengan mudah jadi penasaran.
“Mbak itu sudah sangat terkenal di antara kami … sering diomongin yang baik-baiknya.” Sarah tiba-tiba menyibak tirai yang membatasi butik ini dengan kios bagian depan.
“Jangan bilang kamu ada maunya.” Aku tertawa kecil di ujung kalimat dengan tujuan mencairkan suasana. Sudah terlalu tegang rasanya aura di antara aku dan Kak Indri sedari tadi.
“Aku serius, Mbak. Hal itu juga yang membuat Kak Indri mau datang ke toko hari ini. Padahal bisa saja dia memilih stand by seharian di gereja. Ibadah Raya kami di hari Minggu ini ‘kan non-stop dari pagi sampai malam, walau yang wajib diikuti hanya satu sesi saja,” jelasnya sembari mengambil posisi bersimpuh di dekatku.