Tuhan di Persimpangan Jalan

Endang Hadiyanti
Chapter #18

Fighting! #Bab 17

Dua bulan penuh masa magang yang melelahkan akhirnya berakhir sudah. Selanjutnya kami dihadapkan pada masa penulisan tugas akhir berupa Laporan Praktek Kerja Lapangan yang akan diujikan di dalam sidang dua bulan lagi. Semuanya dilakukan secara mandiri tanpa dosen pembimbing. Kampus memang menyediakan fasilitas komputer, namun dalam jumlah yang terbatas sehingga kami kesulitan mendapatkan jatah untuk menggunakan komputer-kalah cepat dengan kawan-kawan yang kos di dekat kampus.

“Janji, ya, kalian jangan merusuh!” Ben memberi peringatan sebelum aku, Radit, Deki, Ridwan, dan Adbi mengikutinya masuk ke dalam lingkungan sebuah Sekolah Dasar Negeri yang sudah kosong.

“Aku sudah pinjam ruangan ini sama mami selama dua bulan ke depan. Kalau sempat ada yang hilang atau rusak, sudah pasti aku dipenggal begitu sampai rumah.” Dia menggerakkan jari telunjuk di depan lehernya sembari mengeluarkan lidah dan bergaya seperti orang mati.

“Wah, luasnya ruangan mami …,” komentar Deki sembari melihat sekeliling. Naluriku berkata sepertinya teman kami yang satu ini hendak melihat-lihat apakah ada sesuatu yang aneh lagi, seperti buku Islam Undercover kemarin.

“Kita hanya bisa pakai ruangan setelah sekolah kosong, jadi … harus dimanfaatkan baik-baik waktunya agar satu komputer ini cukup untuk menyelesaikan enam laporan.” Jemari Ben bergerak menghidupkan UPS, lalu menekan tombol power pada satu-satunya personal computer yang ada di ruangan ini.

“Serahkan padaku.” Aku menggemeretakkan jemari, sesaat sebelum mengambil posisi di depan komputer. “Yang jelas ... aku baru akan bantu punya kalian, setelah punyaku selesai lebih dahulu,” lanjutku sembari membuat satu dokumen baru atas namaku di dalam komputer tersebut.

“Wow ….” Hampir semua orang di ruangan ini terpana menyaksikanku dengan mudahnya menggunakan sepuluh jari untuk mengetik di dalam aplikasi Microsoft Word. Saat kelas satu SMA dulu, aku sudah membuat Laporan Perjalanan sebagai persyaratan kelulusan sebagai Anggota Penuh di ekskul Sispala (Siswa Pecinta Alam). Bukan hanya satu laporan, aku juga membantu penyelesaian lima teman lainnya dalam waktu kurang dari satu bulan. Momen itu membuat kemampuan mengetikku meningkat pesat walau tidak punya komputer di rumah, dan aku yakin kali ini akan bisa lebih cepat lagi.

Ngapain kalian nonton aku? Masing-masing buat draf dengan tulisan tangan! Nanti aku hanya akan bantu ketikin, enggak akan mau bantu mikirin,” ucapku sembari berhenti menggerakkan jemari di atas keyboard.

“Tapi, Me …. Kenapa kamu enggak buat draf juga?” tanya Ben setengah berbisik saat teman-teman yang lain bubar dari mengelilingiku.

“Drafnya di sini,” jawabku sembari mengarahkan telunjuk ke kepala dan mengedipkan sebelah mata.

“Kamu ini ….” Tanpa sadar dia menjatuhkan kecupan ringan di sudut keningku.

“Wuo … Jangan anggap kami nyamuk, dong!” suara seseorang terdengar dengan nada sewot, meski kemudian disusul derai tawa bersahut-sahutan. Aku tak berani berbalik ke belakang untuk melihat siapa yang berbicara, sudah terlanjur malu dengan sikap terang-terangan Ben di depan anak-anak ini. Lebih baik aku fokus menulis saja, agar bisa lekas selesai dan punya cukup waktu untuk membantu teman-teman yang lain.

***

Kirain kita bisa libur lebih lama.” Ben menggeser-geser dasinya karena merasa tidak nyaman. Kami memang mendapatkan bonus lumayan lama untuk berlibur … lebih dari satu bulan sepertinya, karena berhasil menyelesaikan tugas akhir dalam waktu tiga minggu saja. Beruntung juga pihak Apotek Bengawan dan RSAU dr. Siswanto Lanud Adi Soemarmo tidak bertele-tele dalam memberikan persetujuan laporan tersebut sehingga semua berjalan lancar sesuai rencana.

Pagi ini, ujian oral komprehensif sudah dimulai dengan urutan abjad dari paling belakang. Itu artinya … aku, Ben, dan Ardi mendapatkan giliran terakhir-terakhir karena nama kami dimulai dari abjad A. Radit dan Ridwan sedang ujian secara paralel, berhadapan dengan dua tim penguji yang dibagi ke dalam dua kelas.

Lihat selengkapnya