Radit sudah langsung bekerja sehari setelah wisuda. Meski dulu sempat sakit saat magang, kali ini sepertinya dia sudah lebih siap dan beradaptasi dengan jadwal kerja yang padat. Setiap hari kuperhatikan dia begitu semangat berangkat kerja, begitupun saat pulang.
Sementara aku, lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca buku di rumah, khususnya buku-buku yang menunjang persiapan ujian masuk PKN-STAN (Politeknik Keuangan Negara-Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Aku sudah memutuskan untuk kembali mengikuti seleksi STAN yang dulu pernah gagal pada kesempatan pertama setamat SMA. Ini adalah kesempatan terakhirku untuk mengadu nasib di sana. Bisa berkuliah gratis dan mendapatkan jaminan status Pegawai Negeri setelah tamat pendidikan, tentu sangat menggiurkan bagi sejumlah orang, termasuk juga bagiku.
“Aku wes enggak kuat belajar, Me. Aku temenin kamu ujian aja, ya, tapi enggak ikut ujiannya,” komentar Ben saat pertama kali kubahas tentang ujian masuk STAN ini. Lokasi ujiannya memang bukan di Solo, melainkan di Lanud Adi Sucipto, Jogja.
“Kita menginap di Jogja, 'kah?” tanyaku saat menyadari ada risiko besar untuk terlambat jika memaksakan berangkat Subuh dari Solo. Belum lagi staminaku tentu akan terkuras di jalan sebelum memulai ujian dan itu akan merugikanku. Berdasarkan pengalaman dua tahun lalu-saat ujian di Senayan, Jakarta-bukan hanya ketidakmampuan menjawab soal yang menjadi kendala, tetapi juga kecepatan menjawab dengan tepat yang menjadi penentu utama. Ada ribuan orang se-Indonesia ini yang bersaing mendapatkan tempat di kampus tersebut, bisa dibilang 1 banding 120 orang-lah peluangnya. Sebegitu kecilnya kemungkinan lulus, bahkan jika aku sudah mempersiapkan diri dengan sangat baik sekalipun.
“Ya, nanti aku cari jalan keluar untuk kita, ya … Kamu fokus aja belajar, supaya peluang lulus menjadi lebih besar.” Lelakiku itu tidak banyak mengganggu. Aku pun mempercayakan saja semua padanya. Meski kami belum membahas lebih lanjut akan seperti apa hubungan ini ke depannya, tetapi bisa kulihat dia mendukung penuh semua yang kuupayakan untuk masa depanku.
“Ngomong-ngomong …, aku pengen sekali ngerasain naik kereta api,” gumamku malu-malu. Hingga usia sembilan belas tahun ini, belum pernah barang sekali aku menggunakan moda angkutan tersebut. Cukup sering kudengar banyak yang menggunakannya untuk transportasi Solo-Jogja, karena aman, cepat, dan hemat.
Ben terkejut, tapi tetap dijawabnya dengan tenang, “Nanti, ya. Setelah kamu selesai dengan semua keribetan ini.”
***
“Kita sudah sampai,” ucapnya saat mematikan mesin motor.
Aku turun perlahan sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kami sedang berada di wilayah Kalasan yang terletak di sebelah Barat Candi Prambanan. Saat ini motor CB Ben terparkir di bawah pohon rindang yang berada dekat dengan pagar luar. Sebuah rumah besar terlihat di depan kami, dengan halaman yang sangat luas, lebih luas dari sekolah tempat mami Ben bekerja.
"Ini bukan gereja, ‘kan?” Aku menggamit ujung jaket Ben ketika tiba-tiba teringat bahwa tidak semua bangunan gereja memiliki ornamen salib.
“Bukan.” Ia tertawa kecil sembari berjalan menuju pintu utama. Aku mengikuti di belakangnya.
Kami disambut dengan sangat ramah oleh tuan rumah. Ternyata tempat ini adalah panti asuhan. Gedung utamanya memiliki empat kamar besar yang dihuni oleh pengurus panti dan beberapa “Anak Besar” istilah untuk anak-anak yang sudah mampu menghasilkan uang sendiri dan merelakan sebagian penghasilannya untuk kebutuhan panti. Bagian tengah ruangan diisi meja yang sangat panjang dengan kursi-kursi kayu di sampingnya. Bisa kutebak ini adalah meja yang biasa digunakan untuk makan dan berkumpul bersama pada waktu-waktu tertentu.
Bagian belakang gedung utama terhubung dengan bangunan dua tingkat yang menyerupai asrama. Di sini bisa ditemukan lebih banyak anak-anak kurang beruntung yang tidak lagi memiliki orang tua lengkap. Hatiku berdesir saat mendapati dua anak perempuan berusia kurang dari lima tahun berlari padaku dan salah satunya langsung memeluk pahaku.