Hari yang paling membahagiakan untuk Mbak Widuri yang cantik akhirnya datang juga. Ia menikah dengan seorang lelaki mapan dan baik hati, bernama Dewa. Meski saling mengenal melalui perjodohan keluarga, tapi bisa kusaksikan sendiri bahwa perasaan di antara mereka tumbuh dan bersemi begitu cepat. Derai air mata saat berlangsungnya ijab kabul dibayar lunas dengan senyuman yang memperlihatkan gingsul di bibir kanan atas Mbak Wid. Senyuman itu tak henti merekah sepanjang acara resepsi yang diadakan di hari yang sama dengan prosesi akad nikah itu.
Aku tentu tak mau ketinggalan acara yang sangat berarti untuk saudara sepupu kesayanganku itu, begitupun Radit dan beberapa teman kami yang sudah menganggap Mbak Wid seperti kakak sendiri. Sedari pagi hingga sore hari, tidak satu orang pun dari kami yang beranjak pergi dari lokasi pesta di rumah orang tuanya Mbak Wid-yang notabene adalah pakde dan budeku-ini. Aku bahkan sudah lebih dulu berada di sini dari tadi malam untuk meramaikan acara Malam Midodareni.
“Lihat ini!” Ben memperlihatkan setangkup bunga yang kini berada di atas telapak tangan kanannya.
“Apa itu? Melati?” tanyaku heran.
“Bukan, ini kembang kantil. Aku ambil dari hiasan kerisnya Mas Dewa. Katanya, sih, kalau berhasil mengambil kembang kantil ini tanpa ketahuan, bisa segera menyusul pengantinnya.” Ia buru-buru membungkus kuncup bunga kuning muda yang menebarkan aroma wangi itu dengan tisu, lalu menyimpannya di dalam saku celana.
“Kata siapa?”
“Kata orang-orang tua zaman dulu. Buruan … kamu ambil juga punyanya Mbak Wid, sebelum habis diambilin orang.” Dia setengah mendorong badanku, memaksaku bangkit dari posisi duduk.
“Kamu ini … memangnya sudah hidup di zaman dulu? Kok, bisa tahu? Bagian yang mananya, sih? Aku cuma lihat hiasan melati bertumpuk-tumpuk di sanggulnya Mbak Wid.” Aku bergerak dengan malas. Tak kusangka ternyata Ben percaya dengan hal-hal semacam itu.
“Iya, memang hiasan itu. Coba perhatikan bagian paling bawahnya, deh, itu bukan melati, tapi kembang kantil! Buruan sana …, ambil, biar kita samaan.” Dia mengedipkan mata.
Meskipun aku sangat dekat dengan pengantin perempuan dan bisa bolak-balik sesukanya ke pelaminan, tetapi untuk bisa melakukan permintaan Ben ternyata sulit sekali. Mbak Widuri sepertinya percaya juga dengan mitos ini sehingga terlihat “melindungi” bagian paling bawah dari hiasan sanggul yang menyempurnakan riasan paes Jawanya.
“Kamu ini enggak ahli mencuri,” goda Mbak Wid saat aku menemaninya yang sedang makan sendirian di atas pelaminan. Mas Dewa sedang berganti pakaian, sementara tamu masih tak berhenti datang. Hal itu membuat mereka berdua memutuskan untuk tidak berganti kostum dalam waktu bersamaan. “Kasihan tamu yang datang nanti jika tidak bisa berfoto dengan pengantin,” kata Mas Dewa tadi, saat menitipkan Mbak Wid padaku.
“Nih, cuman tinggal satu. Aku takut nanti orang lain pula yang dapat. Padahal, aku juga pengen cepat-cepat melihat kamu jadi ratu sehari.” Ia menyelipkan bunga tersebut di telapak tanganku sembari memberikan piring yang sudah selesai digunakannya.
“Makasih, Mbak,” ucapku tulus sekalipun tak tahu apakah mungkin mitos itu akan terwujud jika prosesnya seperti ini?
Aku beranjak dari pelaminan saat melihat Mas Dewa sudah mendekat dengan pakaian tradisional Jawa yang berwarna hijau, sama dengan yang dikenakan Mbak Wid usai tadi menggunakan kebaya beludru hitam. Mereka berdua benar-benar terlihat serasi.
***