Tuhan di Persimpangan Jalan

Endang Hadiyanti
Chapter #21

End . . . or To Be Continued? #Bab 20

“Hati-hati, Mbak. Yakin enggak apa-apa, nih, enggak kasih tahu Ben?” Radit membantuku memasukkan ransel ke dalam bagasi bus. Barang bawaanku memang tidak banyak, hanya satu ransel besar ini dan satu daypack Eiger yang akan kubawa ke tempat duduk nanti. Seperti apa aku datang ke Solo dahulu, seperti itu pula aku pulang ke Padang hari ini.

“Enggak apa-apa. Begini lebih mudah untuk kami.” Aku mengulurkan tangan untuk bersalaman dengannya. “Kamu beneran enggak mengabari Ben, ‘kan?” selidikku saat punggung tangan ini sampai di dahinya.

“Enggak, kok. Dit merasa enggak punya hak lagi mencampuri urusan Mbak dengan dia. Kalau dulu … itu karena dia minta bantuan, makanya Dit bantu. Lagipula, Dit juga udah bantu sampai dengan mama papa kita merestui dan membolehkan hubungan Mbak dengan Ben. Jika sekarang Mbak memutuskan pergi, udah enggak ada lagi yang bisa Dit bantu untuk dia.”

“Ya, makasih. Jaga kesehatan kamu. Untuk sementara waktu HP mungkin Mbak non-aktifkan,” ucapku saat menaiki kendaraan besar yang akan mengantarku melintasi pulau ini.

***

Sesampainya di Padang, handphone menjadi salah satu benda yang tak kusentuh. Kubiarkan ia tersimpan di dalam lemari agar sedikit pun tak terpikir tentang Ben. Mama dan papa pun tak banyak bertanya, mereka menyerahkan padaku saja ... maunya bagaimana. Kehidupan baru pun mulai kutata dengan bekerja di sebuah apotek yang berlokasi tak jauh dari rumah. Setidaknya aku sudah punya kegiatan yang bermanfaat dan bisa memiliki penghasilan sediri.

Meski sudah kubatasi informasi kedatanganku di kota Padang ini, tapi lama kelamaan Sebastian mengetahui hal tersebut juga. Sosok lelaki tinggi hitam manis yang sudah berstatus pacar aku semenjak kelas 3 SMP itu kini terlihat berjalan ke arahku usai memarkirkan motor.

“Kenapa tidak mengabari?” tanyanya saat kami beradu pandang dengan dibatasi etalase kaca berisikan obat-obatan. Kebetulan aku sedang berjaga sendirian pagi ini karena biasanya memang tidak terlalu ramai.

“Kamu mau beli apa? Obat resep apa bukan?” tanyaku sedatar mungkin.

“Aku mau kamu, Amel. Jam berapa kamu ada waktu? Mari kita bicara sebentar.”

“Aku sibuk, liburnya cuma hari Senin. Aku yakin kamu juga pasti sibuk di hari itu.”

“Enggak. Aku bisa hari Senin, jam berapa pun itu … biar aku yang akan menyesuaikan.” Dia dengan lancang menggapai tanganku yang tentunya langsung kutepis dengan kasar.

“Ayolah, Amel … ini bukan pertama kalinya kita begini. Ayo kita cari cara bersama agar bisa memperbaikinya.” Ia menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

Gini aja, deh, biarkan aku bicara pada mama dulu, baru nanti aku hubungi kamu kalau sudah dapat izin,” jawabku.

Lihat selengkapnya