“Ini serius, Ma? Kenapa enggak bilang-bilang dulu?” Aku terkejut saat disodorkan tiket pesawat menuju Solo saat pulang kerja.
“Kamu tadi masih kerja saat Mama dapat berita Radit diopname, Mama enggak enak ganggu. Tapi, Mama sudah bicara dengan om Ryan, kok. Dia membolehkanmu tidak masuk dulu untuk sementara waktu karena katanya apotek juga agak sepi belakangan ini,” jelas Mama tentang rencana keberangkatanku yang sangat mendadak besok pagi.
“Memangnya Radit sakit apa?”
“Tipes. Sehabis keluar dari Rumah Sakit-pun dia masih butuh banyak istirahat itu … paling enggak selama sebulan. Mama enggak bisa pergi karena harus mengurus papa dan tiga adik kamu lainnya, jadi kamu aja yang bantu, ya.”
Aku menghela napas panjang. Aku bisa jawab apa? Kutolak pun tak akan bisa karena tiket sudah dibeli atas namaku. Belum lagi pemilik apotek tempatku bekerja adalah tetangga sebelah rumah kami yang sudah lama berhubungan baik dengan mama dan papa, wajar saja dia mudah memberikan izin.
***
Tak kuduga akan kembali lagi ke tempat Ben berada dalam waktu dekat. Belum lagi karena tidak ada telepon rumah di tempat mbah, aku terpaksa kembali menggunakan gawai yang selama ini tak pernah kusentuh lagi. Mendengar nada deringnya saja sudah cukup untuk membuat ingatanku kembali ke hari-hari yang kulalui bersama lelaki bermata indah itu, apalagi menggunakannya di dalam genggaman tangan ini. Sungguh menyebalkan harus berangkat dadakan begini, semua jadi serba kurang persiapan ..., aku bahkan tak sempat mengganti gawai dan hanya sempat membeli nomor baru.
“Ben?” Aku terkejut mendapati sosok yang sedang kupikirkan saat membuka pintu salah satu kamar di Rumah Sakit tempat Radit bekerja. Ben sedang berdiri di samping tempat tidur, yang menandakan bahwa dia juga baru datang.
Spontan aku memelototi Radit yang terbaring dengan infus di tangan kanannya. Adikku itu mengangkat bahu, seolah ingin berkata tidak tahu kenapa kami bisa berada di sini pada waktu yang bersamaan.
“Ah, Me. Kamu sudah datang.” Lelaki berperawakan sedang dengan bidang bahu yang luas itu bergeser perlahan dari tempatnya berdiri.
Sial, dia benar-benar diberi tahu Radit tentang kedatanganku! Radit membuang pandangan ke luar kamar-menghindari kontak mata denganku-sembari bersiul.
“Ya.” Aku menangkupkan tangan, tidak menyambut uluran tangan Ben yang mengajak bersalaman.
“Ah, ya. Bukan hanya tampilan luar yang berubah ternyata ….” Sebuah senyuman yang dipaksakan, merekah di bibir Ben. Wajar saja jika dia terkejut melihatku yang saat ini mengenakan jilbab untuk menutupi kepala.