Tuhan di Persimpangan Jalan

Endang Hadiyanti
Chapter #23

Trying Something New #Bab 22

Aku melajukan motor dengan satu tujuan. Entah dia sedang berada di rumah, entah tidak. Aku tak peduli. Pokoknya aku tidak akan langsung pulang ke rumah saat ini karena sudah pasti Ben akan menyusulku.

Kulihat beberapa kali sebuah kartu nama-yang sudah cukup lama tinggal di dompetku-sebelum memberanikan diri menggeser pagar hitam di hadapanku. Tepat saat hendak kugenggam handle pagar, ternyata seseorang membukanya dari dalam.

“Oh, hai. Cari aku?” Meski terlihat kaget, tapi sosok lelaki putih bersih dengan tubuh jangkung dan hidung mancung itu terlihat jelas masih mengenaliku. “Amel, 'kan?” lanjutnya lagi sembari memastikan.

“Iya, aku Amelia. Kamu mau keluarkah? Kalau begitu aku pulang saja, tidak ada yang urgent, kok.” Aku mundur beberapa langkah.

Arkha melirik motorku sebentar lalu berkata, “Kalau kamu enggak sibuk, ayo ikut ke tempat aku mau pergi. Kita bisa ngobrol di sana.”

Aku mengangguk. Aku sungguh tak punya tujuan lain saat ini.

***

Aku dengan kikuk mengikuti langkah Arkha memasuki sebuah café bernuansa Bali. Walau pernah tinggal hampir setahun di Pulau Dewata itu, aku tak pernah terbiasa dengan café, bar, diskotik, dan tempat hiburan lainnya. Tetap saja rasanya canggung.

“Apa yang punya tempat ini orang Bali?” tanyaku saat sudah merasa nyaman duduk di sebuah kursi tinggi di bagian luar meja bar. Belum begitu banyak orang di sekitar kami. Paling hanya beberapa orang berpakaian hitam-putih yang bisa kuduga bekerja sebagai cleaning service, karena mereka terlihat sibuk membersihkan beberapa sudut café.

“Iya. Kamu udah familier dengan kain poleng hitam-putih yang membungkus pohon di gerbang itu, ya?” Arkha menggulung sedikit lengan bajunya, kemudian menyajikanku segelas minuman dingin dari bagian dalam meja bar.

“Bukan itu aja, sih, tapi juga bunga kamboja dan patung-patungnya. Eh, ini halal, ‘kan?” tanyaku ragu sembari menatap gelas yang sisi luarnya berembun dengan cepat.

“Haha, mana mungkin aku kasi minuman keras untuk perempuan berjilbab sepertimu. Pantas saja kemarin kamu menolak ajakan aku untuk ikut seleksi Putra-Putri Solo, yah, ternyata mau hijrah. Jadi, kamu enggak pacaran lagi, dong, sekarang?”

Aku tersenyum kecut sambil menyeruput minuman manis berwarna hijau di hadapanku. “Ah, ini teh hijau, aku pikir tadi apa … gelasnya mencurigakan, sih.”

Gelak tawa Arkha terpecah, memperlihatkan gigi putihnya yang tersusun rapi. Tak lama kemudian dia meletakkan seloki kosong di atas meja, lalu beraksi dengan shaker-nya. Tiga lapis minuman berwarna menyala dituangkannya sedikit demi sedikit ke dalam gelas berukuran kecil tersebut, dan diakhiri dengan menghidupkan api di bagian atasnya, tepat pada saat seorang pria bule mengambil posisi duduk tak jauh dariku.

Here’s yours.[1]” Ia menyorongkan minuman tersebut pada tamu yang baru datang itu. Si Bule menenggak langsung seisi gelas dalam satu tegukan, kemudian berpindah duduk ke meja café yang menghadap sebuah kolam ikan, usai mengucapkan “Thank’s [2]”.

“Dia selalu datang di jam segini, lalu sibuk di sana dengan laptopnya sampai sore, makanya aku enggak bisa meladeni kamu di rumah tadi. Beruntung kamu mau ikut ke sini. Aku jadi enggak kehilangan momen berharga untuk lebih mengenal kamu.” Arkha berbicara dengan nada rendah sembari berusaha menatap mataku.

Aku membuang wajah sembari bertanya, “Memangnya cuma satu orang bartender di tempat ini?”

“Ada tiga, tapi temanku yang dua lagi lebih suka masuk malam hari karena lebih ramai,” jawabnya sembari membereskan seloki berukuran imut-yang tadi diberikannya pada si Bule-yang kini sudah kosong. “Kalau kamu butuh waktu untuk sendiri, bisa pilih meja di sana. Nanti sesekali aku mampir. Siang ini café enggak begitu ramai, sore sampai malam baru biasanya ramai sekali,” lanjutnya.

***

“Kamu serius mau pergi sama dia?” Ben ternyata mendapatkan bocoran dari Radit bahwa aku akan pergi ke Jogja hari ini bersama Arkha. Pagi-pagi sekali dia sudah muncul di rumahku, bersamaan dengan kedatangan Arkha.

Arkha dengan santainya berdiri menungguku di teras, seakan tak peduli ada seseorang yang keberatan dengan rencana perjalanan kami hari ini.

“Iya, aku mau pergi mumpung nanti malam Radit di rumah dan besoknya libur. Aku ingin melunaskan janjimu untuk naik kereta api ke Jogja, walau dengan orang lain. Toh, enggak lama lagi aku balik ke Padang,” jelasku panjang lebar.

“Me, aku tahu kamu marah besar karena Al-Qur’an itu. Tapi … aku betul-betul enggak tahu siapa yang meletakkannya di sana—"

“Wah, lebih gawat lagi kalau kamu tidak tahu. Berarti sama sekali tidak pernah kamu baca, ‘kan?” Aku menatap tajam ke dalam matanya.

Lihat selengkapnya